Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Nostalgia Musim Hujan, Sepayung Berdua Cewek Idaman

14 Oktober 2022   16:37 Diperbarui: 14 Oktober 2022   16:40 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi trotoar yang lapang dan megah dan minat pejalan kaki yang sepi | dok. okezone.com

Saya sudah terbiasa jalan kaki sejak kecil, mulai dari kelas 1 SD hingga lulus kuliah S1. Rata-rata, sekolah saya jaraknya sekitar 1,5 kilometer dari rumah.

Pas kuliah, saya tidak lagi tinggal bersama orang tua. Tapi, saya sengaja mencari tempat kos yang jaraknya juga sekitar 1,5 km dari kampus.

Semuanya saya lakukan dengan hepi-hepi saja, karena biasanya ada saja teman yang bareng berangkat ke sekolah atau pulang dari sekolah.

Memang, kalau lagi berjalan sendiri saat panas terik siang hari pulang sekolah, agak menyiksa juga. Apalagi, perut saya pasti lapar berat.

Tapi, dengan kondisi seperti itu, malah jadi memacu saya mempercepat langkah agar buru-buru bisa sampai di rumah.

Saat remaja dan sudah di bangku sekolah menengah, bisa jalan kaki bareng teman cewek yang ditaksir, sungguh berbunga-bunga rasanya.

Hal demikian juga saya jalani waktu kuliah. Yang menderita bagi pejalan kaki, adalah saat hujan. Namun, jika satu payung berdua cewek idaman, aduhai sekali, hehe.

Makanya, kalau saya mendengar lagu Obbie Messakh yang lirik awalnya berbunyi "yang, hujan turun lagi.....," saya jadi bernostalgia.

Namun, ada sebuah kenangan pahit yang tak terlupakan, ketika saya saat hujan terpaksa menempuh perjalanan dengan jalan kaki pakai payung.

Kali ini ceritanya bukan sepayung berdua, tapi sendiri saja. Ketika hari pertama bulan puasa, karena ada jadwal kuliah, saya terpaksa makan sahur dan berbuka di tempat kos.

Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, selalu saya usahakan sehari sebelum bulan puasa hingga puasa hari ke-2 atau ke-3, saya tinggal bersama orang tua.

Nah, pas di sore hari, saat saya mau membeli makanan ke sebuah rumah makan untuk dibawa pulang, hujan turun sangat deras.

Tapi, mau tak mau saya harus keluar, tak ada ojek yang melayani mengantar makanan seperti sekarang. 

Saking kencangnya angin, payung saya beberapa kali nyaris terlepas. Dan tiba-tiba, saya terperosok masuk lobang yang ada di trotoar sempit yang saya lewati.

Karena hujan, lobang di jalan tidak kelihatan. Lumayan dalam lobangnya, saya tidak bisa berjalan normal setelah itu.

Sepertinya ada memar yang membuat saya besoknya pergi ke tukang urut. Sedih sekali rasanya berbuka puasa sendiri dengan kondisi kaki dan hati terluka.

Nah, kenapa dulu saya suka jalan kaki? Jujur, awalnya karena menghemat uang jajan, lama-lama jadi keterusan, anggap saja sekalian olahraga.

Sebetulnya, selain jalan kaki, ada pilihan naik bendi (delman) saat saya sekolah dulu, atau naik oplet (angkot) saat kuliah. 

Masalahnya, itu tadi, tentu uang jajan saya jadi berkurang, malah bisa habis untuk transoprtasi. Maklum, jatah dari orang tua pas-pasan saja.

Lagi pula, untuk jarak hingga 2 kilometer, rasanya kaki saya cukup kuat ketika masih remaja dan muda dulu.

Sekarang? Harus diakui, faktor usia tak dapat dipungkiri. Sejak saya jadi warga DKI Jakarta mulai tahin 1986 hingga sekarang, saya jalan kaki hanya sesekali saja.

Naik bus kota, kereta api, bemo, bajaj, ojek motor, taksi, hingga kendaraan sendiri, menjadi moda transportasi yang sering saya gunakan.

Tapi, jika ada keperluan ke Jalan Sudirman Thamrin, saya kadang-kadang sengaja berjalan kaki menikmati nyaman dan indahnya trotoar di sana. 

Apalagi kalau berpapasan dengan cewek-cewek kantoran berpakaian modis, pemandangan seperti ini tak bisa saya lewatkan.

Berjalan kaki di Sudirman Thamrin sangat kontras kalau saya ada keperluan ke kawasan penyangga ibukota.

Seorang keponakan saya tinggal di Bintaro, Tangerang Selatan. Bukan di komplek perumahan Bintaro Jaya, tapi di perumahan kecil yang jalan raya di depannya juga sempit.

Sudahlah jalannya sempit, kendaraan ramai yang lewat, dan tak ada trotoarnya. Berjalan kaki dalam kondisi begini tentu berbahaya.

Begitulah suka duka saya berjalan kaki, sejak masa kecil hingga sekarang sudah jadi kakek dari seorang cucu.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun