Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Transformasi Budaya Korporat Harus Visioner dan Realistis

24 Oktober 2022   05:13 Diperbarui: 24 Oktober 2022   05:56 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dok. klasika.kompas.id

Buku Merza Gamal yang berjudul "Merancang Change Management & Cultural Transformation", sungguh menggugah saya dan sangat bermanfaat sebagai panduan untuk membangun budaya korporat di sebuah perusahaan.

Merza, seorang Kompasianer aktif yang sudah malang melintang di industri perbankan, menulis hal penting tentang manajemen perubahan.

Seperti diketahui, suka atau tidak suka, perubahan akan selalu berlangsung. Sehingga, perubahan dalam pola bekerja menjadi tak terelakkan.

Atau, dalam skala yang lebih besar, cara sebuah perusahaan dalam beroperasi juga dituntut untuk selalu mengikuti perubahan.

Tidak hanya perubahan dari sisi teknologi informasi yang demikian kencang, tapi juga berdampak pada perubahan cara bersosialisasi.

Makanya, istilah "transformasi" menjadi begitu sering kita dengar yang artinya kurang lebih semacam proses perubahan menjadi sesuatu (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya) yang baru.

Dalam menyikapi perubahan tersebut, kalau kita cermati apa yang terjadi di banyak perusahaan, selalu ditandai dengan adanya perubahan organisasi.

Dulu, hingga dekade 1980-an, organisasi yang membidangi teknologi di sebuah bank hanya setingkat bagian dengan beberapa personil saja di kantor pusatnya.

Kemudian, organisasi yang membidangi teknologi ditingkatkan menjadi setingkat divisi yang berada di bawah direktur operasional.

Lalu, siapa yang menyangka kalau sekarang ini sebuah bank membutuhkan empat sampai lima divisi teknologi yang dipimpin seorang direktur khusus bidang teknologi.

Jadi, ada divisi yang khusus menyusun perencanaan teknologi, yang khusus mengembangkan berbagai program aplikasi, yang khusus menangani audit teknologi, yang menangani operasional, dan sebagainya.

Namun, Merza mengingatkan bahwa perubahan organisasi tak akan berhasil bila manajemen tidak mengubah perilaku karyawannya.

Perilaku karyawan yang sudah tertanam menjadi kebiasaan dan nilai-nilai yang diterapkan semua karyawan, akhirnya membentuk sebuah budaya korporat yang kondusif dalam rangka mengeksekusi transformasi.

Bila di sebuah bank masih banyak karyawannya yang lalai dalam mengamankan sistem teknologi, maka jangan heran bila data nasabah bisa bocor ke pihak yang tidak berkepentingan.

Jika pihak yang mendapat bocoran data itu menjadikannya sebagai sarana pembobolan rekening nasabah, dapat dibayangkan, kepercayaan masyarakat bisa hilang pada bank tersebut.

Merza secara lengkap menulis bagimana tahapan yang harus dilakukan agar proses transformasi nantinya berhasil sesuai apa yang diharapkan.

Jelas bahwa transformasi bukan sekali jadi, meskipun secara konsep telah disepakati oleh berbagai elemen di perusahaan.

Justru  pelaksanaannya perlu dikawal terus menerus serta dikondisikan sedemikian rupa, sehingga terbentuk nilai-nilai budaya korporat baru. 

Kebetulan, di tempat saya bekerja dulu, saya pernah menjadi anggota TMT (Tim Manajemen Transformasi) sekitar tahun 1999.

Waktu itu yang menjadi anggota tim kebanyakan berasal dari divisi yang membidangi organisasi perusahaan dan dibantu oleh belasan staf senior yang baru selesai mengambil gelar MBA atau MM dengan biaya dinas.

Tapi, konsep yang dihasilkan ternyata terlalu teoritis meskipun sudah visioner (berpikir jauh ke depan). Oleh para karyawan, istilah TMT diplesetkan menjadi "Tak Menginjak Tanah" atau tidak realistis.

Kemudian, pada 2001-2002, kembali saya bergabung dalam tim yang disebut TBK (Tim Budaya Kerja). Kali ini dibantu oleh konsultan pengembangan sumber daya manusia terkenal.

Alhamdulillah, TBK sangat jelas road map-nya dan disusun setelah banyak sekali melakukan focus group discussion (FGD ) dari level direksi hingga level bawah.

FGD juga melibatkan semua divisi di kantor pusat serta perwakilan dari kantor wilayah, kantor cabang, dan kantor cabang pembantu.

Dengan demikian, budaya kerja yang baru juga sinkron dengan perkembangan dari sisi teknologi serta perubahan struktrur organiasasi.

Beberapa tahun setelah itu, perusahaan relatif berhasil menarapkan budaya kerja baru yang terlihat dari perbaikan kinerja perusahaan yang berbasis dari akumulasi kinerja setiap karyawan.

Tidak saja target yang bersifat finansial (perolehan laba, total aset, dan sebagainya) yang terlampaui, tapi juga skor kepuasan pelanggan juga mengalami peningkatan drastis.

Perusahaan juga cukup berani menaikkan gaji dan bonus karyawan, tapi juga diiringi dengan kenaikan target yang tinggi.

Secara periodik setiap unit kerja melakukan Forum Peningkatan Kinerja (FPK), di mana sambil rekreasi, setiap karyawan bebas mengeluarkan uneg-unegnya, termasuk mengkritik atasan demi perbaikan kinerja.

Jadi, menurut saya, melakukan transformasi budaya korporat memang perlu bertahap dan melibatkan semua stakeholder.

Transformasi yang terlalu drastis, meskipun sangat visioner, akan membuat para karyawan kesulitan mengaplikasikannya, dalam arti kurang realistis.

Tapi, terlalu "menginjak bumi" dan lupa kalau perusahaan lain sudah sampai ke "bulan", akan membaut perusahaan kehilangan daya saingnya.

Bagi pembaca yang berminat, ada baiknya mempelajari secara lengkap dari buku karya Merza Gamal di atas. 

Di buku tersebut sudah dipaparkan bagaimana step by step perancangan perubahan manajemen dan transormasi budaya korporat yang baik dan aplikatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun