Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Nobel Ekonomi 2022 dan Krisis Moneter 1998 di Indonesia

13 Oktober 2022   11:16 Diperbarui: 20 Oktober 2022   17:10 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi efek domino (Freepik)

Ada 3 orang ekonom Amerika Serikat (AS) yang terpilih sebagai pemenang Hadiah Nobel Ekonomi 2022 yang diumumkan di Stockholm, Swedia, Senin (10/10/2022) yang lalu.

Ketiga pakar ekonomi tersebut adalah Ben Bernanke (Gubernur Bank Sentral AS 2006-2014, kini bekerja di The Brookings Institution, AS), Douglas W. Diamond (University of Chicago), dan Philip H. Dybvig (Washington University).

Seperti yang diberitakan Kompas.id (11/10/2022), tiga ekonom tersebut mendapat penghargaan atas riset-riset mereka tentang bank dan krisis keuangan.

Dari riset-riset itu terbukti bahwa lembaga perbankan merupakan urat nadi perekonomian, karenanya harus diupayakan agar selalu solid. 

Di saat terjadi krisis ekonomi, industri perbankan yang kacau bisa meyebabkan krisis menjadi semakin parah. Makanya, pengawasan terhadap bank harus dilakukan dengan ketat.

Memang, andai pun, bank mengalami kebangkrutan, tetap ada cara untuk membuatnya kembali berfungsi, yakni melalui intervensi pemerintah.

Pada industri perbankan, dikenal adanya domino effect, di mana kebangkrutan suatu bank bisa menyeret kejatuhan bank-bank lainnya.

Efek domino tersebut tidak berlaku bagi semua bank, hanya bank yang berkategori systemic bank, yakni bank-bank besar yang bagaimanapun juga akan diselamatkan pemerintah bila bangkrut.

Soalnya, ada teori yang menyebutkan too big to fail, sebuah bank besar lazimnya menjadi tempat mayoritas perusahaan besar menempatkan dananya atau juga menerima kucuran kredit dalam jumlah besar.

Tanpa mengaitkannya dengan riset pemenang Nobel di atas, jika kita melihat yang terjadi di Indonesia, bank besar pun menjadi tempat banyak instansi pemerintah melakukan berbagai transaksi penting.

Antar bank-bank besar saling terhubung dalam aktivitas pinjam meminjam antar bank, sehingga kejatuhan sebuah bank besar, dampak ikutannya akan menggelinding jauh lebih besar lagi.

Belajar dari pengalaman Indonesia saat krisis moneter 1998, ketika itu ada sejumlah bank yang terpaksa dilikuidasi. Namun, bank-bank yang berkategori sistemik, diselamatkan oleh pemerintah.

Penyelematan tersebut bisa dibilang sebagai intervensi pemerintah, yang ironisnya memakan biaya yang sangat mahal.

Biaya yang mahal dimaksud adalah berupa penggelontoran dana dari pemerintah. Ada yang berupa Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank yang mengalami kesulitan lukuiditas.

Perlu diingat, ketika krisis, kepercayaan masyarakat terhadap rupiah berada pada titik terendah, makanya kurs rupiah terhadap dolar AS terjun bebas.

Jangan heran, bila sebelum krisis, 1 dolar AS masih dihargai di kisaran Rp 2.500-Rp 3.000, pada puncak krisis menyentuh level 1 dolar AS dihargai Rp 16.000-Rp 17.000.

Para nasabah yang menyimpan dana di perbankan, banyak yang menarik simpanannya untuk dikonversi menjadi dolar AS atau mata uang asing lainnya.

Bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika nasabah berbondong-bondong menarik uangnya. Bukankah uang nasabah tersebut oleh bank telah disalurkan sebagai kredit kepada pelaku usaha yang meminjam dari bank?

Jelas pihak bank tak bisa menagih pengembalian kredit dengan cepat. Apalagi, saat krisis, dunia usaha ibarat tiarap, sehingga jumlah kredit macet perbankan melonjak luar biasa.

Fenomena nasabah ramai-ramai secara serentak menarik uangnya dari bank disebut dengan rush. Bank manapun pasti goyah bila di-rush.

Akhirnya, mau tak mau perlu dibantu dengan BLBI agar bank sebagai urat nadi perekonomian berdenyut lagi. 

Kemudian, suku bunga perbankan naik gila-gilaan agar masyarakat tetap mau menaruh simpanan dalam rupiah.

Pada puncak krisis suku bunga mencapai 70 persen per tahun. Sungguh angka yang tak terbayangkan jika diukur dengan kondisi sekarang, di mana ada bank yang memberi bunga 0 persen pada penabung.

Selain BLBI, ongkos intervensi pemerintah yang lebih mahal adalah dengan diterbitkannya obligasi rekapitalisasi (sering disingkat dengan obligasi rekap).

Obligasi yang secara total bernilai lebih dari Rp 400 triliun itu membuat sejumlah bank besar (baik bank swasta maupun bank pemerintah) selamat dari kebangkrutan.

Dengan obligasi tersebut, modal bank yang sudah defisit karena dihantam kerugian akibat kredit macet, menjadi tidak defisit lagi.

Caranya, kredit macet tersebut diambil alih oleh pemerintah yang ditangani oleh lembaga yang dibentuk secara khusus, yakni Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Sedangkan bank yang kredit macetnya diambil alih mendapat ganti obligasi rekap itu tadi. Jadi, bank kembali untung, tapi pemerintah yang buntung karena menanggung beban kredit macet.

Memang, BPPN berhak menagih kredit macet tersebut. Masalahnya, sebagian besar kredit tersebut sudah sulit dilacak jejaknya, karena debiturnya kabur ke luar negeri.

Celakanya, sebagian debitur kredit macet itu diduga merupakan para kroni dari pemilik bank yang disinyalir memanfaatkan momentum krisis moneter, untuk mengemplang kredit.

Hal itu terjadi karena sebelum krisis, pengawasan atas perbankan tidaklah seketat sekarang. Sehingga, bank bisa saja memberikan kredit kepada perusahaan yang sebetulnya masih terafiliasi dengan pemilik bank.

Artinya, uang masyarakat yang disimpan di bank itu "dirampok", karena dikucurkan sebagai kredit yang akhirnya macet karena diduga ada "permainan".

Itulah hal yang paling dikhawatirkan pada industri perbankan, yakni pemilik atau manajemen bank membangkrutkan banknya sendiri.

Yang rugi tentu saja masyarakat yang mempercayakan menyimpan dananya di bank yang bangkrut tersebut. Itulah moral hazard yang tak termaafkan.

Untunglah, kalau sekarang masih ada bank yang bangkrut, pemerintah sudah membentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Kemudian, untuk mencegah agar pemilik bank tidak "merampok" banknya sendiri, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sangat ketat dalam mengawasi bisnis perbankan.

Jadi, bank tak bisa lagi seenaknya menggunakan simpanan nasabah untuk disalurkan sebagai kredit kepada perusahaan yang nota bene masih terkait atau terafiliasi dengan pemilik atau dengan manajemen bank itu.

Kembali ke soal pemenang Nobel Ekonomi 2022, semakin terbukti betapa vitalnya peran perbankan sebagai urat nadi perekonomian suatu negara.

Wajar kalau perbankan menjadi industri yang highly regulated dan highly controlled, agar negara tidak ikut-ikutan bangkrut.

Nah, relevansinya bagi Indonesia sendiri, meskipun resesi sudah di depan mata, dengan solidnya perbankan Indonesia, krisis moneter seperti pada 1998 kita harapkan tidak akan terulang kembali.

Para peraih Nobel Ekonomi 2022|dok. Reuters/TT News Agency, dimuat Kontan.co.id
Para peraih Nobel Ekonomi 2022|dok. Reuters/TT News Agency, dimuat Kontan.co.id

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun