Kemudian, suku bunga perbankan naik gila-gilaan agar masyarakat tetap mau menaruh simpanan dalam rupiah.
Pada puncak krisis suku bunga mencapai 70 persen per tahun. Sungguh angka yang tak terbayangkan jika diukur dengan kondisi sekarang, di mana ada bank yang memberi bunga 0 persen pada penabung.
Selain BLBI, ongkos intervensi pemerintah yang lebih mahal adalah dengan diterbitkannya obligasi rekapitalisasi (sering disingkat dengan obligasi rekap).
Obligasi yang secara total bernilai lebih dari Rp 400 triliun itu membuat sejumlah bank besar (baik bank swasta maupun bank pemerintah) selamat dari kebangkrutan.
Dengan obligasi tersebut, modal bank yang sudah defisit karena dihantam kerugian akibat kredit macet, menjadi tidak defisit lagi.
Caranya, kredit macet tersebut diambil alih oleh pemerintah yang ditangani oleh lembaga yang dibentuk secara khusus, yakni Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Sedangkan bank yang kredit macetnya diambil alih mendapat ganti obligasi rekap itu tadi. Jadi, bank kembali untung, tapi pemerintah yang buntung karena menanggung beban kredit macet.
Memang, BPPN berhak menagih kredit macet tersebut. Masalahnya, sebagian besar kredit tersebut sudah sulit dilacak jejaknya, karena debiturnya kabur ke luar negeri.
Celakanya, sebagian debitur kredit macet itu diduga merupakan para kroni dari pemilik bank yang disinyalir memanfaatkan momentum krisis moneter, untuk mengemplang kredit.
Hal itu terjadi karena sebelum krisis, pengawasan atas perbankan tidaklah seketat sekarang. Sehingga, bank bisa saja memberikan kredit kepada perusahaan yang sebetulnya masih terafiliasi dengan pemilik bank.
Artinya, uang masyarakat yang disimpan di bank itu "dirampok", karena dikucurkan sebagai kredit yang akhirnya macet karena diduga ada "permainan".