Antar bank-bank besar saling terhubung dalam aktivitas pinjam meminjam antar bank, sehingga kejatuhan sebuah bank besar, dampak ikutannya akan menggelinding jauh lebih besar lagi.
Belajar dari pengalaman Indonesia saat krisis moneter 1998, ketika itu ada sejumlah bank yang terpaksa dilikuidasi. Namun, bank-bank yang berkategori sistemik, diselamatkan oleh pemerintah.
Penyelematan tersebut bisa dibilang sebagai intervensi pemerintah, yang ironisnya memakan biaya yang sangat mahal.
Biaya yang mahal dimaksud adalah berupa penggelontoran dana dari pemerintah. Ada yang berupa Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank yang mengalami kesulitan lukuiditas.
Perlu diingat, ketika krisis, kepercayaan masyarakat terhadap rupiah berada pada titik terendah, makanya kurs rupiah terhadap dolar AS terjun bebas.
Jangan heran, bila sebelum krisis, 1 dolar AS masih dihargai di kisaran Rp 2.500-Rp 3.000, pada puncak krisis menyentuh level 1 dolar AS dihargai Rp 16.000-Rp 17.000.
Para nasabah yang menyimpan dana di perbankan, banyak yang menarik simpanannya untuk dikonversi menjadi dolar AS atau mata uang asing lainnya.
Bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika nasabah berbondong-bondong menarik uangnya. Bukankah uang nasabah tersebut oleh bank telah disalurkan sebagai kredit kepada pelaku usaha yang meminjam dari bank?
Jelas pihak bank tak bisa menagih pengembalian kredit dengan cepat. Apalagi, saat krisis, dunia usaha ibarat tiarap, sehingga jumlah kredit macet perbankan melonjak luar biasa.
Fenomena nasabah ramai-ramai secara serentak menarik uangnya dari bank disebut dengan rush. Bank manapun pasti goyah bila di-rush.
Akhirnya, mau tak mau perlu dibantu dengan BLBI agar bank sebagai urat nadi perekonomian berdenyut lagi.Â