Begitu ada pemain yang tergeletak di lapangan, reporter televisi yang memandu siaran langsung pertandingan sepak bola mengatakan sesuatu.
Ia menyampaikan pengalamannya yang pernah terjatuh saat berolahraga yang membuat kakinya keseleo. Katanya, ia menanggung sakit selama beberapa hari.Â
Untung saja ada seorang teman yang memberitahunya agar kalau lagi seperti itu, akan lebih cepat sembuhnya dengan mengoleskan krim merek tertentu.
Bersamaan dengan itu, di sudut layar kaca muncul gambar krim yang dimaksud oleh si reporter.
Jelaslah, si reporter televisi itu lagi mengiklankan produk krim, tapi dikemas dengan gaya soft selling.
Soft selling adalah promosi yang dilakukan secara tersamar dengan menggunakan bahasa atau teknik yang halus.Â
Iklan murni terkesan lebih agresif dengan mengklaim produknya sebagai produk nomor satu dan menyeru orang banyak untuk membelinya.
Namun, soft selling tidak seperti itu. Tidak ada seruan belilah produk ini atau produk itu sekarang juga.
Ada banyak cara soft selling. Biasanya, dibungkus dengan kegiatan pelayanan masyarakat atau dalam bentuk tanggung jawab sosial suatu perusahaan (corporate social responsibility).
Bisa pula dalam bentuk sisipan dalam siaran televisi atau film layar lebar, atau advis dari seorang pakar atau motivator dalam acara talkshow.
Sifatnya lebih menyentuh atau menggugah rasa penasaran dari mereka yang membaca atau menonton.
Tentu, secara tersirat, pesannya adalah agar mereka yang penasaran akan membeli produk tersebut. Atau, minimal merek tersebut dikenal luas. Sehingga, bila sewaktu-waktu diperlukan, produk itu akan dicari konsumen.
Bagi penggemar film nasional, tentu sudah tak heran melihat jalinan cerita yang sengaja memasukkan produk tertentu.
Umpamanya, si aktornya diperlihatkan singgah di ATM bank A, naik taksi merek B, minum pakai minuman ringan merek C, dan sebagainya.
Adakalanya hal itu seperti dipaksakan, sehingga soft selling-nya jadi kurang efektif.
Tapi, bila dilakukan secara halus dan seperti memang menjadi tuntutan dari kisah film, serta merek produk tidak terlalu kentara terlihat, ini yang bagus.
Bahkan, di Kompasiana, beberapa penulis mungkin tanpa disadarinya mengisahkan pengalamannya makan di suatu tempat dengan nada banyak memberi pujian.
Nah, itulah soft selling paling efektif, sebagai user experience yang tidak diskenariokan.
Memang, ada juga yang sifatnya kerja sama antara Kompasiana, produsen tertentu, dan para penulis terpilih.
Kalau seperti ini memang tulisannya sudah diskenariokan dan sudah mirip advertorial saja.
Tapi, sepanjang semuanya bukan bergaya hard selling, lebih menceritakan pengalaman si penulis, diharapkan akan menggugah rasa penasaran para pembaca.
Sehingga, suatu saat si pembaca mungkin akan menjajal produk yang dibacanya di Kompasiana itu.
Intinya, para pelaku usaha sekarang harus jeli dalam mempromosikan produk atau jasanya.
Jangan terpaku pada satu metode promosi saja. Memasang iklan itu perlu, tapi perlu dikombinasikan dengan soft selling.
Bahkan, bila produk tersebut dijual secara online, minta pelanggan memberi rating, yakni penilaiannya atas produk tersebut dan pelayanannya.
Rating di media sosial sekarang sudah menjadi acuan bagi calon pembeli, karena dianggap lebih objektif.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI