Sifatnya lebih menyentuh atau menggugah rasa penasaran dari mereka yang membaca atau menonton.
Tentu, secara tersirat, pesannya adalah agar mereka yang penasaran akan membeli produk tersebut. Atau, minimal merek tersebut dikenal luas. Sehingga, bila sewaktu-waktu diperlukan, produk itu akan dicari konsumen.
Bagi penggemar film nasional, tentu sudah tak heran melihat jalinan cerita yang sengaja memasukkan produk tertentu.
Umpamanya, si aktornya diperlihatkan singgah di ATM bank A, naik taksi merek B, minum pakai minuman ringan merek C, dan sebagainya.
Adakalanya hal itu seperti dipaksakan, sehingga soft selling-nya jadi kurang efektif.
Tapi, bila dilakukan secara halus dan seperti memang menjadi tuntutan dari kisah film, serta merek produk tidak terlalu kentara terlihat, ini yang bagus.
Bahkan, di Kompasiana, beberapa penulis mungkin tanpa disadarinya mengisahkan pengalamannya makan di suatu tempat dengan nada banyak memberi pujian.
Nah, itulah soft selling paling efektif, sebagai user experience yang tidak diskenariokan.
Memang, ada juga yang sifatnya kerja sama antara Kompasiana, produsen tertentu, dan para penulis terpilih.
Kalau seperti ini memang tulisannya sudah diskenariokan dan sudah mirip advertorial saja.
Tapi, sepanjang semuanya bukan bergaya hard selling, lebih menceritakan pengalaman si penulis, diharapkan akan menggugah rasa penasaran para pembaca.