Apalagi, ketika mau pamit, salah seorang dari kami membaca doa secara keras dan khusuk, yang diaminkan oleh kami semua, juga dari pihak tuan rumah.
Tentu, kami juga meninggalkan sedikit buah tangan, sebagaimana kelaziman dalam melihat orang sakit dan juga "amplop".
Nah, "rahasia" tentang asal mula penyakit Pak Gito baru terkuak di atas kendaraan, saat rombongan kami pulang menuju Jakarta.
Rupanya, salah seorang dari kami, sebut saja namanya Bu Isma, ketika di rumah Pak Gito diceritakan sesuatu oleh istri Pak Gito dengan berbisik-bisik.
Apa yang dibisiki Bu Gito itulah yang diceritakan ulang oleh Bu Isma, yang tampaknya sudah cukup akrab dengan Bu Gito.
Jadi, ada musibah atau kejadian yang tak diharapkan yang membuat shock Pak Gito. Musibah itu menimpa anak bungsunya yang sudah bersuami dan punya seorang anak.
Si bungsu ini kesayangan Pak Gito karena satu-satunya perempuan dari 4 anaknya. Suami si bungsu sekarang membawa istrinya ke suatu tempat yang tak diketahui Pak Gito.
Sebelum itu, karena alasan pandemi, setiap Pak Gito dan istrinya mau bertemu putri bungsunya dan sekaligus melihat cucu, selalu ditolak oleh menantunya.
Sehingga, suatu kali diutuslah diam-diam kakak si bungsu mendatangi rumah mertua si bungsu karena memang ia tinggal di sana.
Betapa kagetnya si kakak melihat adiknya tersandar ke tembok dengan muka lebam seperti habis dipukuli. Atau, menurut istilah sekarang, terkena KDRT.
Terjadilah ribut-ribut di rumah itu. Apa yang dilihat si kakak, tentu diceritakannya ke orang tuanya, dan membuat Pak Gito dan keluarganya sangat terpukul.