Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Kisah Sepiring Lontong Sayur dan Satu Ember Air Putih

26 September 2022   06:49 Diperbarui: 26 September 2022   06:55 1340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi air minum dalam kemasan|dok. Kompas/Totok Wijayanto, dimuat Kompas.com

Jika kita berbicara berdasarkan kondisi di era jadul, katakanlah hingga awal dekade 1970-an, sungguh tidak terbayang bahwa air minum kemasan bisa dibisniskan secara besar-besaran.

Ketika itu, yang namanya air minum atau sering disebut air putih, dimasak sendiri oleh penjual makanan dan diberikan secara gratis bagi mereka yang membeli makanan di rumah makan atau restorannya.

Bahkan, pedagang makanan keliling yang menggunakan gerobak pun, juga menyediakan air minum bagi pembeli yang menyantap makanannya di tempat si pedagang itu mangkal.

Kalau pedagang ingin mendulang keuntungan dari air minum, maka itu bukan berarti air putih atau air mineral, melainkan jenis tertentu seperti es teh manis, kopi susu, atau softdrink.

Hingga awal 1980-an, ketika itu saya tinggal di Padang, masih belum lazim adanya air minum dalam kemasan (AMDK) disediakan di rumah makan seperti yang sekarang kita jumpai.

Justru, penjualan AMDK ikut memberikan kontribusi keuntungan yang tak kalah besar kepada pedagang makanan, karena rata-rata dijual dua kali lipat dari harga pokoknya.

Tak heran, keuntungan yang didapat sebuah warung makan, komposisinya berimbang antara keuntungan dari makanan dan dari minuman.

Nah, kisah berikut ini, berdasarkan apa yang saya alami di Padang sekitar tahun 1983-1984. Ketika itu, sebagai mahasiswa kos-kosan dengan dompet tipis, tentu setiap makan di warung, saya harus pintar berhitung.

Sudah menjadi kebiasaan saya untuk sarapan di sebuah warung makan yang loksinya tidak jauh dari tempat saya kos. 

Meskipun warung tersebut berupa bangunan semi permanen yang sederhana, tapi pelanggannya lumayan ramai, baik mahasiswa maupun orang kantoran.

Saya sering memilih lontong sayur gulai paku (paku maksudnya daun pakis). Tapi, mengingat kantong cekak itu tadi, saya selalu minta air putih.

Mungkin si penjual mulai kesal dengan saya yang selalu minum air putih yang gratis, padahal pelanggan banyak yang memesan teh talua (teh telor, minuman khas Minang) yang relatif mahal dan bergengsi.

Suatu kali, saya betul-betul dipermalukan si penjual makanan tersebut. Ketika ia bertanya mau minum apa setelah ia menyajikan sepiring lontong sayur yang pesan, saya menjawab dengan suara pelan; "minta air putih".

Sengaja saya ngomong dengan suara pelan, agar tidak terdengar oleh pelanggan lain yang sebagian di antaranya teman saya sendiri.

Namun, di luar dugaan saya, si penjual makanan dengan keras berteriak ke seorang pelayannya; "air putih satu ember", sambil menunjuk saya.

Tentu, maksudnya agar si pelayan membawakan segelas air putih ke tempat saya duduk. Tapi, malunya itu yang tidak tahan, ketika semua mata seperti memandang ke arah saya.

Ketika itu memang soal keramahan terhadap pelanggan belum begitu jadi perhatian banyak pedagang makanan. Bahkan, jika warungnya laris, pelayanan justru berkurang, karena pelanggan dianggap lebih butuh. 

Akhirnya saya tobat, tidak mau lagi sarapan di warung sialan itu, daripada diteriaki "air putih satu ember". Lebih nyaman mencari warung lain, meskipun lebih jauh.

Begitulah sepenggal kenangan pahit yang susah saya lupakan sampai sekarang. Tapi, yang ingin saya sampaikan adalah ketika itu belum ada AMDK di warung makan.

Kalau sekarang, pelanggan di suatu rumah makan atau restoran, tak perlu malu jika ditanya mau minum apa, kalau pilihannya adalah air putih alias air mineral.

Toh, dari sisi harga, untuk ukuran 600 ml, juga tak jauh dengan harga minum teh atau kopi. Yang jelas, sudah susah untuk mencari minum air putih gratis.

Kebetulan, ketika aktif bekerja di sebuah BUMN yang punya kantor cabang yang tersebar di seluruh penjuru tanah air, saya lumayan sering berkunjung ke berbagai daerah.

Saya menemukan bahwa di setiap daerah, ada saja AMDK produk lokal yang hanya dikenal di daerah tersebut saja. Jadi, tak terbantahkan bahwa minum AMDK sudah jadi kebutuhan banyak orang.

Tapi merek yang jadi pionir, tetap tak tergoyahkan secara nasional. Bahkan, masyarakat tahunya merek pionir tersebut sudah menjadi nama jenis barang, bukan hanya sebagai salah satu merek.

Jadi, kalau ada orang yang bilang mau pesan Aq**, maksudnya belum tentu yang bermerek Aq**, tapi pasti maksudnya air mineral.

Tentang isu kemasan AMDK yang membahayakan bagi kesehatan, terutama dalam galon, mudah-mudahan ada ketegasan dari pemerintah soal regulasi dan pengawasannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun