Mungkin si penjual mulai kesal dengan saya yang selalu minum air putih yang gratis, padahal pelanggan banyak yang memesan teh talua (teh telor, minuman khas Minang) yang relatif mahal dan bergengsi.
Suatu kali, saya betul-betul dipermalukan si penjual makanan tersebut. Ketika ia bertanya mau minum apa setelah ia menyajikan sepiring lontong sayur yang pesan, saya menjawab dengan suara pelan; "minta air putih".
Sengaja saya ngomong dengan suara pelan, agar tidak terdengar oleh pelanggan lain yang sebagian di antaranya teman saya sendiri.
Namun, di luar dugaan saya, si penjual makanan dengan keras berteriak ke seorang pelayannya; "air putih satu ember", sambil menunjuk saya.
Tentu, maksudnya agar si pelayan membawakan segelas air putih ke tempat saya duduk. Tapi, malunya itu yang tidak tahan, ketika semua mata seperti memandang ke arah saya.
Ketika itu memang soal keramahan terhadap pelanggan belum begitu jadi perhatian banyak pedagang makanan. Bahkan, jika warungnya laris, pelayanan justru berkurang, karena pelanggan dianggap lebih butuh.Â
Akhirnya saya tobat, tidak mau lagi sarapan di warung sialan itu, daripada diteriaki "air putih satu ember". Lebih nyaman mencari warung lain, meskipun lebih jauh.
Begitulah sepenggal kenangan pahit yang susah saya lupakan sampai sekarang. Tapi, yang ingin saya sampaikan adalah ketika itu belum ada AMDK di warung makan.
Kalau sekarang, pelanggan di suatu rumah makan atau restoran, tak perlu malu jika ditanya mau minum apa, kalau pilihannya adalah air putih alias air mineral.
Toh, dari sisi harga, untuk ukuran 600 ml, juga tak jauh dengan harga minum teh atau kopi. Yang jelas, sudah susah untuk mencari minum air putih gratis.
Kebetulan, ketika aktif bekerja di sebuah BUMN yang punya kantor cabang yang tersebar di seluruh penjuru tanah air, saya lumayan sering berkunjung ke berbagai daerah.