Namun, jika kita melihat di negara maju, malahan ada bank yang bunganya negatif. Misalnya Jepang pernah memberikan bunga minus 0,25 persen.
Tapi, di Jepang hal itu terjadi karena ketika itu sedang mengalami deflasi (adanya penurunan harga barang-barang dan jasa).Â
Sedangkan di negara kita, saat ini inflasinya lagi tinggi, nyaris mendekati 5 persen secara year on year (satu tahun terakhir hingga Agustus 2022).
Secara teori, ketika inflasi terjadi, suku bunga akan dinaikkan. Makanya, Bank Indonesia (BI) belum lama ini menaikkan suku bunga acuan dari 3,5 persen menjadi 3,75 persen.
Selama ini, suku bunga BI menjadi acuan utama semua bank di Indonesia dalam menetapkan tingkat suku bunga, baik untuk produk simpanan seperti tabungan, maupun untuk produk pinjaman (kredit).
Jadi, jika ada yang berpendapat bahwa suku bunga tabungan sebesar 0 persen ketika BI menaikkan suku bunga acuan, sebagai sebuah anomali, dapat dipahami.
Namun, mari kita mencoba memahami dari sisi bank yang memberikan bunga 0 persen, apa kira-kira logikanya?
Berbicara tentang suku  bunga bank, selalu bak pisau bermata dua, karena dampaknya berlawanan antara nasabah penyimpan dana dan nasabah kredit yang meminjam dana.
Bunga rendah menguntungkan peminjam dan merugikan penyimpan, sebaliknya bunga tinggi menguntungkan penyimpan tapi sangat membebani peminjam.
Makanya, bank harus mencari titik tengah dalam arti suku bunga tersebut masih menarik bagi penyimpan tapi juga tidak memberatkan peminjam.
Namun, kondisi titik tengah itu sulit dicari, karena jarang bank yang punya posisi yang seimbang antara dana yang masuk dari simpanan nasabah dengan dana yang keluar untuk pinjaman nasabah.