Sebaliknya, jika tingkat literasi masyarakat secara umum semakin membaik dan sudah terbiasa menyaring informasi, maka jurnalisme berbasis fakta akan kembali berjaya seperti sebelum ada media sosial.
Nah, ujiannya tersebut akan terlihat pada saat ini, karena kita bersiap-siap memasuki tahun gejolak politik lagi, dengan mulai hangatnya berita dari tokoh-tokoh yang digadang-gadang akan bertarung di Pilpres 2024.
Contohnya, seseorang yang dari awalnya sudah tidak menyukai Anies Baswedan, akan selalu dibombardir berita negatif tentang sosok yang akan segera meletakkan jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta itu.
Sebaliknya, seseorang yang sangat fanatik mendukung Anies, secara otomatis di gawainya tersedia berita tentang citra positif sosok pujaannya itu.
Gampang sebetulnya mengendus berita yang diragukan keakuratannya. Jika terlalu berlebihan mencaci atau terlalu berlebihan memuji, pembaca perlu lebih kritis mencermatinya.
Berita yang berimbang, dalam arti mengungkap sisi kelebihan dan kekurangan seorang tokoh, akan lebih objektif dan bisa mengedukasi pembaca.
Untuk liputan berita, jurnalisme berbasis fakta harus menerapkan teori 5W+1H yang sudah menjadi standar jurnalisme sejak dulu.
Teori tersebut artinya sebuah berita harus lengkap menjelaskan elemen What, Who, When, Why, Where dan How dari suatu peristiwa.Â
Itupun, sebelum berita diturunkan perlu dilakukan check and recheck dan berita yang berupa konsep akan diperiksa oleh redaktur media, sebelum ditayangkan.
Tapi, ketika perkembangan teknologi informasi demikian cepat seperti saat ini, menjadikan faktor kecepatan berita sebagai yang paling penting.
Sehingga, ada ujian berat bagi jurnalisme berbasis fakta, karena untuk memenuhi standar teori itu tadi, mereka bisa terlambat menyajikannya bagi pembaca.