Karena kondisi jalan yang banyak tikungan serta banyak pendakian dan penurunan, dari S ke R perlu waktu sekitar 2 jam 30 menit.
Di kantor S tersebut belum tersedia kendaraan dinas, sehingga kepala cabang pembantunya harus naik bus atau naik taksi yang dipesan melalui aplikasi.
Nah, hal teknis yang menjadi kendala adalah berkaitan dengan jadwal bus yang tersedia hanya pada pukul 06.00 pagi dan pukul 11.30 siang.
Padahal, si kepala cabang pembantu menginginkan bisa berangkat sekitar jam 08.00 setelah ia membuka sistem operasional kantor dan mendelegasikan tugas kepada salah satu karyawan yang paling senior.
Adapun kalau naik taksi online, ia khawatir jika tarifnya terlalu mahal dan biayanya tidak mendapat penggantian dari dinas.
Karena bingung, kepala cabang pembantu minta waktu menelpon bosnya menyampaikan permasalahan di atas.
Si bos terkesan kesal mendengar laporan anak buahnya itu dan menyarankan agar naik bus yang jam 11.30 saja. Toh masih bisa sampai sebelum acara dimulai di R.
Tapi si anak buah malah tidak menerima saran bosnya karena terbentur dengan jadwal salat Jumat yang tak bisa diikutinya.
Dengan ngeyel, kepala cabang pembantu mendebat bosnya soal kriteria musafir agar bisa mendapat keringanan tidak wajib salat Jumat.
Akhirnya si bos pakai senjata pamungkas, mengatakan apapun caranya, yang penting anak buahnya harus hadir tepat waktu. Jika tidak, akan ada sanksi.
Dari contoh kasus di atas, jelaslah bahwa di mata si bos, soal yang dilaporkan anak buahnya adalah soal sepele, terlalu teknis dan seharusnya tidak perlu dilaporkan.