Kata "beban" terkesan melupakan jasa para PNS yang telah pensiun, saat mereka masih bekerja dulu. Padahal, banyak di antaranya yang telah mengabdi hingga lebih dari 30 tahun di daerah pelosok.
Kembali ke terminologi akuntansi, pengeluaran negara bila dilihat dari sifat pengeluaran, akan terbagi dua, yakni sebagai beban dan sebagai investasi.
Jadi, jelaslah, jangankan pensiunan, PNS yang masih aktif pun juga beban negara, karena gajinya seluruhnya bersumber dari APBN atau APBD.
Belanja barang dan belanja pegawai (dalam hal ini termasuk pensiunan), semuanya masuk kelompok beban, dalam arti habis begitu saja, tidak akan tercatat sebagai aset negara.
Apa contoh pengeluaran negara yang bersifat investasi? Ini berlaku untuk pengeluaran yang nantinya tercatat sebagai aset negara, seperti anggaran untuk membangun sekolah, rumah sakit, jalan, jembatan, dan sebagainya.
Kalau saja pembayaran pensiunan tidak menggunakan APBN, tapi sepenuhnya dilakukan oleh PT Taspen (Persero) sebagai BUMN yang berkaitan dengan pensiunan PNS, tentu lebih meringankan beban anggaran pemerintah.
Bukankah Taspen yang mengumpulkan dana yang dipotong dari gaji PNS setiap bulan, lalu dikembangkannya, sehingga secara teoritis harusnya mampu membayar uang pensiun PNS?
Apalagi, kalau misalnya peran Taspen disamakan dengan lembaga pengelola dana pensiun yang ada di beberapa BUMN papan atas.
Seperti diketahui, Dana Pensiun Pertamina, Dana Pensiun Telkom, Dana Pensiun BRI, Dana Pensiun BNI, adalah beberapa contoh lembaga dana pensiun yang bisa secara mandiri membayar uang pensiun kepada mantan pekerja di masing-masing BUMN.
Lembaga Dana Pensiun di atas, menerima dana dari potongan gaji karyawan BUMN pendirinya (tidak disebut sebagai BUMN induk, karena dana pensiun adalah unit independen, bukan anak perusahaan), kemudian mengembangkan dana tersebut.
Kemudian, tanpa mengganggu anggaran BUMN pendiri, dana pensiun tersebut mampu membayarkan uang pensiun bulanan kepada semua peserta (karyawan yang ketika aktif dipotong gajinya).