Ceritanya, saya diajak makan siang oleh seorang kepala divisi kantor pusat sebuah bank milik negara. Makannya di hotel berbintang lima di kawasan Jakarta Pusat.
Tentang makan di hotel, sebetulnya selera saya tidak begitu cocok. Ketahuan kan, kalau saya memang gak berbakat jadi orang elit.Â
Ya, mungkin karena masa kecil saya terlanjur sering dijejali tempe, tahu, telur, terong, dan teri (kebetulan semuanya diawali huruf t), sehingga sampai sekarang pun selera saya tak jauh-jauh dari itu.
Adapun di hotel tersebut, menu makanannya didominasi oleh makanan asing. Ada juga yang makanan lokal seperti sop buntut, tapi dengan diolah ala hotel mewah, malah citarasanya jadi kurang pas di lidah saya.
Tapi, bukan soal makanan yang menjadi fokus tulisan saya kali ini. Di hotel itu, ternyata tidak gampang mencari tempat salat.
Meskipun saya sudah bertanya kepada petugas di restoran hotel itu, karena musala yang kecil menyempil dua lantai di bawah lobby (restoran satu lantai dengan lobby), saya perlu bertanya lagi pada orang lain.
Ternyata di ujung sebuah lorong ada ruangan semacam kantor administrasi, lalu saya harus masuk kantor itu, keluar lagi di ujung yang lain, baru ketemu musala.
Saya maklum, tamu-tamu hotel tersebut mungkin didominasi oleh orang asing yang non muslim, sehingga manajemen hotel tidak merasa perlu menyediakan musala yang representatif, yang sebanding dengan nama besar hotel tersebut.
Baik, saya juga tidak akan membahas lebih lanjut soal musala itu, tapi saya merasa aneh saja kenapa lorong menuju musala demikian gelap?
Eh, tapi begitu saya mendekati musala, tiba-tiba lampu hidup. Begitu pun ketika saya mau masuk ruang wudhu yang juga kecil, mulanya gelap, kemudian tiba-tiba lampu hidup sendiri.
Agaknya saya terlambat mengikuti perkembangan terkini soal lampu otomatis. Setelah saya bertanya, rupanya ada jenis lampu yang bisa menjadi solusi jitu untuk menghemat penggunaan listrik.
Lampu di hotel tersebut menggunakan sensor otomatis yang tergantung apakah ada terdeteksi gerakan dari seseorang atau tidak. Jika terjadi pergerakan, lampu ini akan menyala sendiri.
Kemudian, apabila dalam 60 detik tidak lagi terdeteksi adanya gerakan seseorang, lampu tersebut akan mati dengan sendirinya.Â
Itulah yang saya alami di hotel tersebut di atas. Makanya, ketika saya belum jauh keluar musala, lampu pun sudah mati lagi.
Jadi, berbeda dengan lampu yang memakai sensor cahaya yang biasa dipasang di teras rumah. Kalau yang model begini, cukup efektif bagi rumah kosong yang ditinggal penghuninya ketika mudik lebaran.
Tampaknya, bagi mereka yang anggota keluarganya sering lupa mematikan lampu ketika tidak digunakan, mengganti lampu dengan jenis sensor otomatis berdasarkan pergerakan, bisa menjadi solusi menghemat pemakaian listrik.
Jika membayar mahal tagihan listrik karena memang sering digunakan, tentu sudah konsekuensinya. Tapi, tagihan mahal karena kelalaian kita yang tidak mematikan lampu ketika tidak dipakai, ini namanya ketelodoran.
Apalagi bila tagihan yang mahal tersebut, telat dibayar, bisa memunculkan denda tagihan listrik yang jelas makin memberatkan.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H