Terkuaknya kasus suap dalam penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri di Universitas Lampung (Unila) yang melibatkan rektornya yang bergelar profesor doktor, tentu sangat disesalkan.
Tapi, bahwa adanya profesor bermental koruptor, bukanlah fenomena yang langka di negara kita. Kebetulan yang terungkap di Unila, namun siapa tahu, sebenarnya juga terjadi di kampus lain.
Terhadap kasus di Unila, kita percayakan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut sampai tuntas dan memproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Namun demikian, sebagai anggota masyarakat, kita semua perlu pula berkontribusi agar kasus serupa tidak terulang kembali.
Caranya gampang sekali, jika kita punya anak yang mau masuk perguruan tinggi, jangan pernah punya pikiran untuk lolos seleksi lewat jalan belakang.
Maksudnya, tak perlulah kasak-kusuk mencari siapa saja orang dalam yang bisa diajak kerjasama dengan mengiming-imingi memberikan sejumlah uang.
Atau, sekiranya ada orang yang mengaku sebagai orang dalam dan mengaku bisa merekayasa hasil seleksi, abaikan saja, jangan tergoda.
Bisa jadi, anak Anda memang sudah lulus seleksi, tapi masih belum diumumkan secara resmi. Lalu, ada oknum yang menghubungi Anda, seolah-olah ia bisa membantu asal Anda menyiapkan sejumlah uang.
Bisa juga memang anak Anda belum beruntung, tidak lolos jadi mahasiswa baru. Biarkan saja seperti itu, mungkin ada kampus lain yang lebih cocok dengan anak Anda.
Jika Anda memaksakan anak agar tetap masuk perguruan tinggi negeri (PTN) sesuai keinginan semula, katakanlah dengan cara menyogok, anak Anda belum tentu happy.
Soalnya, sesuatu yang dipaksakan, berpotensi akan menuai kegagalan. Dalam hal ini, bisa jadi nantinya mahasiswa yang diterima lewat sogokan, akan terkena drop out.
Lagipula, akhir-akhir ini ada fenomena bahwa banyak orangtua yang punya ambisi berlebihan terhadap anaknya. Sepertinya, soal pendidikan anak, cenderung didikte orangtua.
Ambisi orangtua  tersebut boleh-boleh saja, tapi jangan sampai meminggirkan otonomi anak. Seorang lulusan sekolah menengah sebetulnya sudah layak mengambil keputusan sendiri terkait dengan pilihan masa depannya.
Namun, bukan hal yang aneh kalau sekarang justru orangtualah yang memilihkan jurusan kuliah dan kampus yang akan dimasuki anaknya.
Ya, jika pilihan itu sejalan dengan pilihan anak, tentu tidak jadi masalah. Bayangkan, jika si anak jadi tertekan perasaan dalam mengikuti perkuliahan di jurusan yang tidak begitu disukainya.Â
Memang, secara finansial, anak yang kuliah masih jadi beban orangtua. Tapi, itu bukan alasan bagi orangtua untuk merasa lebih tahu apa yang terbaik bagi masa depan anak.
Perkembangan teknologi berlangsung demikian cepat. Orangtua justru sering tertinggal dalam beradaptasi dengan teknologi.Â
Maka, berilah pandangan pada anak, tapi biarkan anak memilih apa yang diidamkannya bagi kehidupannya di masa depan.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H