Materi mengikhlaskan piutang itulah yang dibahas oleh khatib salat Jumat yang telah saya singgung pada awal tulisan ini. Hal ini dinilai sebagai perbuatan yang mulia.
Makanya saya teringat Agus sambil mendengar khutbah tersebut, karena Agus melakukan penghapusan utang penyewa kos-kosannya setiap menjelang hari raya Idul Fitri.
Tapi, penafsiran saya atas khutbah yang saya dengar, mengikhlaskan utang itu bernilai sebagai sedekah. Ini yang berbeda dengan yang dilakukan Agus, karena Agus mengkompenasi dengan zakat, bukan sedekah.
Artinya, piutang yang menjadi hak Agus dikompensasi dengan kewajiban zakatnya, sedangkan utang si penyewa dikompensasi dengan penerimaan zakatnya.
Agus melakukan hal itu secara tersamar, karena si pengutang tidak diberitahu secara eksplisit bahwa utang mereka sudah impas menjadi zakat.
Hanya, dalam catatan Agus, utang para penunggak tersebut sudah nihil, dan setelah Idul Fitri semuanya dimulai dari nol lagi.
Bagi saya, mekanisme kompensasi tersebut, jujur saja, agak membingungkan. Maka, saya pun berselancar di sejumlah media daring mencari referensi.
Kesimpulan saya, mekanisme zakat seperti yang dilakukan Agus, sepertinya tidak dibolehkan. Soalnya, zakat tidak bisa dikompensasi begitu saja.
Yang saya pahami dari referensi yang saya baca, si pemilik kos-kosan harus memberi uang sebagai zakat terlebih dahulu kepada penyewa yang menunggak.
Pemberian uang zakat tersebut tanpa dipersyaratkan agar dikembalikan secara utuh sebagai pembayar utang.Â
Kemudian, bila si penunggak penerima zakat itu dengan sukarela membayar utangnya kepada pemilik kos, sah-sah saja.Â