Sampai saat saya menulis artikel ini, tulisan menyangkut kasus Brigadir J masih mendominasi Kompasiana. Meskipun sebetulnya, kasus yang menghebohkan itu sudah mendekati babak akhir.
Maksud saya, "bisulnya sudah pecah" dengan ditetapkannya Irjen FS sebagai tersangka.Â
Tapi, apa motifnya, pihak Polri rupanya tidak akan mengungkap ke publik untuk menenggang perasaan pihak-pihak yang terkait.
Artinya, publik baru akan mengetahui, bila kasus ini nantinya disidangkan. Tentu, sekiranya sidang dilakukan secara terbuka, nantinya akan terungkap juga apa yang melatarbelakangi kasus yang ibaratnya telah mencoreng wajah Polri tersebut.
Di satu sisi wajah Polri memang tercoreng. Namun, di sisi lain, Polri pantas diapresiasi karena keberaniannya untuk mengusut tuntas kasus besar itu, sebagai tindak lanjut dari perintah Presiden Joko Widodo.
Bagi mereka yang bekerja di suatu instansi atau perusahaan yang telah menetapkan tata kelola yang baik, pasti tahu, betapa sangat tidak gampangnya menjatuhkan hukuman bagi teman sendiri.
Ya, saya menganggap, sesama perwira tinggi di instansi kepolisian, tentu mereka saling kenal baik, dan bisa dikatakan teman. Irjen FS adalah perwira tinggi dan yang memeriksanya juga perwira tinggi.
Baik, sampai disitu saja saya mengambil kasus Brigadir J sebagai intro tulisan ini.Â
Berikutnya, saya mengisahkan apa yang saya alami saat masih bekerja di sebuah BUMN papan atas, saat menginvestigasi tuduhan pelanggaran etik dari seorang teman saya.
Perlu diketahui, di tempat saya bekerja, ketika itu sudah berjalan dengan baik whistleblowing system (WBS) yang memungkinkan bawahan secara diam-diam melaporkan kelakuan atasannya yang tidak sesuai dengan kode etik atau aturan yang berlaku.
Pengaduan bawahan yang cukup bukti akan ditindaklanjuti oleh Divisi Human Capital, Divisi Manajemen Risiko, Divisi Kepatuhan, dan Satuan Audit Internal yang berada di kantor pusat.
Kebetulan, ketika itu saya menjadi salah satu anggota tim yang diminta mewawancarai seorang pejabat di sebuah kantor wilayah di Kalimantan yang diduga melakukan pelecehan seksual kepada staf wanitanya.
Si pejabat sebetulnya adalah senior saya sewaktu saya masih menjadi staf, dan yang bersangkutan sudah menjadi kepala bagian di divisi yang sama dengan saya.
Dalam perjalanan karir belasan tahun kemudian, posisi saya secara eselon satu tingkat lebih tinggi dari senior itu tadi, meski kami tidak pernah lagi berada pada unit kerja yang sama.
Karena saya cukup kenal karakter senior tersebut, saya tidak kaget bila ia diadukan dalam kasus pelecehan seksual.Â
Soalnya, waktu dulu satu divisi dengan saya, ia sudah kelihatan genitnya ke anak buahnya yang berparas cantik.
Nah, adapun kasus yang dilaporkan yang saya ikut sebagai investigator adalah ketika si senior mengajak salah seorang staf wanitanya turne (perjalanan dinas) ke luar kota. Mereka menginap di hotel yang sama, tapi tentu berbeda kamar.
Saya tidak akan menguraikan modus operandi yang saya ikut sebagai tim pengusut.Â
Tapi, yang ingin saya kemukakan, baik si pewawancara, apalagi si tertuduh, sangat tidak nyaman, karena sebetulnya kami sudah saling kenal baik.
Tapi, bagaimanapun, proses pengumpulan bahan harus digali secara objektif dan nantinya rekomendasi sanksi yang akan dijatuhkan harus dibuat.Â
Adapun keputusan hukumannya berada di tangan Direksi, karena yang diduga berbuat kesalahan sudah termasuk tinggi kepangkatannya.
Pesan moralnya adalah, perilaku seorang pejabat harus selalu berhati-hati. Pertimbangkan segala sesuatunya sebelum bertindak.Â
Jika berbuat salah, sekarang saluran pengaduan demikian banyak, cepat atau lambat pasti ketahuan.
Sedangkan bagi pejabat lain yang harus menyelidiki kasus yang menimpa temannya, jangan sungkan dan harus tetap objektif dengan mengesampingkan hubungan pertemanan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI