Ada yang menarik pada headline Harian Kompas edisi 28 Juli 2022 lalu. Judulnya "Orangtua Indonesia Makin Sulit Biayai Kuliah Anak".
Isinya kurang lebih bahwa meskipun orangtua sudah menabung secara rutin setiap bulan, tapi karena biaya kuliah setiap tahunnya naik cukup tinggi, tetap saja sulit bagi orangtua membiayai kuliah anaknya.
Apalagi, bagi yang tak menyiapkan tabungan secara rutin setiap bulan sejak anak-anaknya masih kecil. Asumsi yang dipakai Kompas, orangtua menyiapkan tabungan sejak 13 tahun sebelum anaknya kuliah.
Hasil penelitian Tim Litbang Kompas juga mengungkapkan bahwa rata-rata kenaikan penghasilan orang tua di bawah rata-rata kenaikan biaya kuliah.
Saya jadi teringat dengan anak-anak saya sendiri yang semuanya sekarang berada pada rentang usia 20-an tahun. Satu di antaranya sudah berumah tangga, bahkan sudah punya seorang bayi.
Dari tiga orang anak saya, ada satu putra yang dulu agak saya khawatirkan ketimbang dua anak lainnya. Hal ini menyangkut wataknya yang cenderung temperamental dan sering membantah ucapan saya atau istri saya.
Alhamdulillah, saat ini, justru "si pembangkang" ini yang menurut saya lebih sukses, khususnya jika dilihat dari pekerjaannya sekarang.
Saya tidak tahu, sejak kapan putra saya itu pacaran dengan teman sekolahnya. Yang jelas, setelah tamat kuliah dan punya pekerjaan tetap, meski di usia yang baru 25 tahun, ia berani menyatakan niatnya untuk berumah tangga.
Tentu, walaupun menurut saya seorang lelaki baru "matang" untuk menikah pada usia 27-28 tahun, saya langsung menyetujui rencana pernikahan anak saya.Â
Saya tak mau memakai standar saya sendiri yang dulu menikah pada usia 31 tahun. Akibatnya, saat saya baru memasuki usia pensiun, masih ada anak saya yang kuliah.
Persis seperti tulisan di Kompas, putra saya bersama istrinya sudah punya perencanaan tentang masa depan anaknya. Makanya, mereka berdua menyisihkan gajinya untuk kuliah si anak kelak.
Tapi, dengan penelitian Kompas di atas, tak urung saya juga bertanya, apakah putra saya nantinya punya dana yang cukup membiayai kuliah anaknya.
Satu hal yang pasti, pendidikan tinggi sangat penting sebagai modal masa depan seorang anak. Meskipun menjadi sarjana tidak otomatis menjamin dapat pekerjaan, tapi peluangnya lebih besar ketimbang yang bukan sarjana.
Artinya, setiap orangtua dari awal mempunyai anak, sebaiknya sudah punya niat untuk menomorsatukan soal pendidikan anak-anaknya.
Memang, banyak pasangan muda yang baru membangun rumah tangga, punya bayangan masa depan yang agak buram.Â
Paling tidak, ada dua hal berikut yang menghantui mereka, yakni apakah mereka mampu memiliki rumah sendiri dan apakah mampu membiayai kuliah anak.
Seperti putra saya di atas, sekarang ia mendiami sebuah rumah milik kami yang tadinya rencana mau dikontrakkan. Tapi, demi kenyamanan anak dan cucu kami, peluang menerima uang kontrak sengaja saya lepas.
Pikir saya, aset-aset orangtua toh pada akhirnya akan menjadi aset anak-anak juga. Jadi, tak usah ngoyo jika ada perbedaan kepentingan pribadi dan kepentingan anak.
Nah, tinggal sekarang saya berdoa, semoga cucu (cucu-cucu bila nanti ada cucu baru) saya kelak tidak mengalami kesulitan dalam menanggulangi masalah biaya kuliah.
Flashback pada perjalanan kehidupan saya di masa lalu, saya boleh dikatakan sebagai generasi sandwich. Saat saya baru mulai bekerja, saya sudah menyisihkan sebagian gaji untuk dikirim ke orangtua saya di kampung.
Soalnya, ketika itu ayah saya yang seorang pengrajin dan sekaligus pedagang kecil, tidak lagi punya penghasilan setelah berusia di atas 60 tahun. Padahal masih ada 2 adik saya yang kuliah.Â
Jadi, saya dan saudara saya yang sudah bekerja, mengambil alih tanggung jawab membiayai kuliah 2 orang adik dan juga membiayai keperluan orangtua.
Saya tidak berkebaratan sedikit pun membantu orangtua, justru bersyukur, karena itulah bentuk bakti saya pada dua orang yang sangat saya cintai itu.
Tentu, saya berdoa bahwa cukup saya saja yang menjadi generasi sandwich, anak-anak saya jangan seperti itu. Masalahnya, kondisi yang dihadapi anak saya kelak mungkin lebih sulit, antara lain seperti kenaikan biaya kuliah yang dibahas di atas.
Harapan saya, masa depan anak-anak saya kelak akan lebih baik dari yang saya jalani selama ini. Dengan demikian, terjadi peningkatan taraf kehidupan dari generasi ke generasi.
Saya dan saudara-saudara saya sangat bersyukur karena diberikan Allah kesempatan berkerja dan rezeki yang lebih baik dibandingkan saat orang tua kami membesarkan kami anak-anaknya.
Tapi, seandainya kondisi yang dialami anak-anak kami kelak belum seperti yang diharapkannya atau tidak lebih baik dari yang kami alami, paling tidak, saya dan istri sebagai orang tua mereka, tidak ingin membebani mereka.
Artinya, dengan uang pensiun yang kami terima setiap bulan, insya Allah kebutuhan kami sebagai orangtua bisa tercukupi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H