Tapi, dengan penelitian Kompas di atas, tak urung saya juga bertanya, apakah putra saya nantinya punya dana yang cukup membiayai kuliah anaknya.
Satu hal yang pasti, pendidikan tinggi sangat penting sebagai modal masa depan seorang anak. Meskipun menjadi sarjana tidak otomatis menjamin dapat pekerjaan, tapi peluangnya lebih besar ketimbang yang bukan sarjana.
Artinya, setiap orangtua dari awal mempunyai anak, sebaiknya sudah punya niat untuk menomorsatukan soal pendidikan anak-anaknya.
Memang, banyak pasangan muda yang baru membangun rumah tangga, punya bayangan masa depan yang agak buram.Â
Paling tidak, ada dua hal berikut yang menghantui mereka, yakni apakah mereka mampu memiliki rumah sendiri dan apakah mampu membiayai kuliah anak.
Seperti putra saya di atas, sekarang ia mendiami sebuah rumah milik kami yang tadinya rencana mau dikontrakkan. Tapi, demi kenyamanan anak dan cucu kami, peluang menerima uang kontrak sengaja saya lepas.
Pikir saya, aset-aset orangtua toh pada akhirnya akan menjadi aset anak-anak juga. Jadi, tak usah ngoyo jika ada perbedaan kepentingan pribadi dan kepentingan anak.
Nah, tinggal sekarang saya berdoa, semoga cucu (cucu-cucu bila nanti ada cucu baru) saya kelak tidak mengalami kesulitan dalam menanggulangi masalah biaya kuliah.
Flashback pada perjalanan kehidupan saya di masa lalu, saya boleh dikatakan sebagai generasi sandwich. Saat saya baru mulai bekerja, saya sudah menyisihkan sebagian gaji untuk dikirim ke orangtua saya di kampung.
Soalnya, ketika itu ayah saya yang seorang pengrajin dan sekaligus pedagang kecil, tidak lagi punya penghasilan setelah berusia di atas 60 tahun. Padahal masih ada 2 adik saya yang kuliah.Â
Jadi, saya dan saudara saya yang sudah bekerja, mengambil alih tanggung jawab membiayai kuliah 2 orang adik dan juga membiayai keperluan orangtua.