Masalahnya, setelah Provinsi Kalimantan Utara diresmikan pada 2013, pemerintah tak lagi memproses permohonan pembentukan provinsi (dan juga kabupaten/kota) baru.
Papua perlu dipandang sebagai pengecualian, karena pembentukan 3 provinsi baru di atas, dilakukan saat masih diberlakukan moratorium.
Barangkali, pertimbangan kompleksnya permasalahan di wilayah Papua yang sangat luas, termasuk karena isu keamanan, makanya muncul pengecualian tersebut.
Menjadi pertanyaan, apakah memang pemekaran menjadi jawaban yang jitu atas kompleksnya permasalahan di Papua?
Hanya waktu nanti yang akan membuktikan. Sekiranya kesejahteraan masyarakat di semua provinsi di Papua meningkat signifikan, maka inilah justifikasi atas pemekaran.
Indikator kesejahteraan rakyat harus menjadi yang paling utama. Jangan sampai terjebak dengan indikator kemajuan semu.
Bahwa secara fisik suatu daerah hasil pemekaran akan terlihat maju, karena kantor-kantor bertambah, itu sudah pasti.
Jumlah pegawai pun bertambah, dan perumahan di sekitar kawasan perkantoran yang baru dibangun jadi semarak.
Demikian pula para pedagang membangun kios berbagai kebutuhan para pegawai tersebut, akan lebih ramai ketimbang sebelum pemekaran.
Hal itu  sesuai dengan prinsip "ada gula, ada semut". Tapi, jika tidak berdampak banyak pada kesejahteraan masyarakat, artinya telah terjebak pada kemajuan semu.
Perlu dikritisi, berbagai pembangunan fisik tersebut jangan sampai dilakukan secara tidak efisien, dan tidak terkesan sebagai "bagi-bagi proyek".