Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Gaya Hidup Minimalis Perlu Suami Istri yang Kompromistis

11 Juli 2022   07:55 Diperbarui: 15 Juli 2022   11:15 1139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cara cerdas hidup minimalis. (sumber: Kzenon via kompas.com)

Gaya hidup minimalis sekarang ini lagi trend bagi banyak pasangan muda atau setengah baya. Tulisan ini tidak memberikan definisi yang kaku tentang minimalis.

Silakan saja masing-masing kita punya definisi tentang minimalis, namun pada intinya, gaya hidup seperti ini lebih memperhatikan kegunaan dari suatu barang dalam berbelanja atau menyimpannya.

Jadi, mereka bukan penganut hedonisme dan juga bukan kaum narsis yang suka pamer. Tapi, mereka juga bukan pelit. Soalnya, mereka tetap happy dan nyaman dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Kenyamanan bergaya minimalis tersebut, memerlukan sebuah syarat mutlak, yakni harus ada kekompakan antar suami istri, harus satu visi, atau paling tidak, keduanya bisa berkompromi.

Soalnya, bila satu pihak memaksakan gaya minimalisnya, padahal pasangannya sebetulnya tidak ingin seperti itu, pasti timbul ketidaknyamanan.

Berikut ini saya akan bercerita pengalaman saya sendiri. Saya dan istri melakukan gaya minimalis untuk hal-hal yang berbeda, sehingga secara keseluruhan, hasilnya belum seperti yang saya harapkan.

Sudah dari remaja saya terbiasa mencatat sesuatu sebelum berbelanja, ya ada semacam daftar belanja. Setelah saya bekerja dan berumah tangga, saya terbiasa menyusun anggaran pemasukan dan pengeluaran secara bulanan.

Bahkan, untuk hal yang bersifat insidentil, termasuk membantu famili, sudah masuk dalam anggaran yang saya susun itu.

Tentu, setelah penghasilan saya mengalami peningkatan seiring perkembangan karir, alokasi untuk investasi semakin besar.

Saya tak mau terjebak dalam hedonic treadmill. Jadi, meskipun penghasilan meningkat, tidak otomatis membuat gaya hidup dan pola konsumsi  saya berubah.

Masalahnya, istri saya terbiasa berbelanja tanpa rencana. Jika ia ke Pasar Tanah Abang atau Mangga Dua, saya minta ampun tidak kuat menemani, karena bisa memakan waktu lebih dari setengah hari.

Nah, dalam hal ini, saya menafsirkan bahawa istri saya tidak bergaya minimalis sewaktu berbelanja, sedangkan saya sudah mengarah ke sana.

Namun demikian, meskipun istri saya termasuk gampang berbelanja, tapi ia juga gampang membuang barang bekas. Hal yang sebetulnya masih sulit saya lakukan.

Jadi, dalam menyimpan barang, istri saya lebih minimalis ketimbang saya. Saya memang relatif jarang belanja, tapi termasuk malas membuang barang bekas.

Saya sering terpenjara dengan nilai nostalgia dari sebuah barang, yang mengingatkan saya pada momen tertentu. Akibatnya, istri saya sering mengomel melihat tumpukan barang yang tidak rapi di kamar kami.

Walaupun saya jarang berbelanja, tapi untuk membeli buku relatif sering saya lakukan. Hanya saja, istri saya sering kesal melihat saya kurang telaten merawat buku.

Akibatnya, pernah salah satu lemari buku saya terpaksa dibongkar semua isinya, karena banyak buku dimakan rayap. Tentu, buku-buku tersebut harus dibuang.

Istri saya beberapa kali menyarankan agar sebagian buku saya disumbangkan saja kepada orang lain. Saya sebetulnya tak keberatan dengan saran tersebut. 

Masalahnya, saya tidak punya cukup waktu untuk memilah-milah. Sebagian dari buku-buku itu, yang saya anggap akan dibutuhkan lagi, tentu saya ingin menyimpannya.

Demikian pula soal pakaian. Sudah beberapa kali saya memberikan pakaian bekas yang masih layak pakai kepada orang lain. Tapi, menurut istri saya, masih banyak yang seharusnya saya singkirkan dari rumah.

Jadi, sebetulnya tidak ada yang minimalis sejati di antara kami berdua. Masing-masing kami minimalis pada hal yang berbeda, dan tidak minimalis pada hal yang berbeda pula.

Idealnya, suami istri kompak berbelanja secara terencana dan sesuai keperluan. Berikutnya, suami istri juga tidak merasa sayang untuk sering beres-beres dan memberikan barang yang tak terpakai kepada orang lain yang mungkin memerlukannya.

Jika tak ada orang lain yang mau menerima, tidak perlu ragu untuk membuang, katakanlah dengan memberikan ke pemulung.

Kalaupun tidak bisa kompak, sepanjang semuanya bisa dikompromikan, tanpa salah satu pihak memaksakan kehendak, saya kira sudah merupakan hal yang baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun