Ada pula lembaga filantropi yang bersifat umum dengan tujuan membantu masyarakat tidak mampu atau korban bencana.
Mengacu pada gaya marketing yang diterapkan perusahaan komersial, sekarang banyak pula lembaga filantropi yang rajin memasang iklan, sehingga susah dibedakan dengan perusahaan yang berbisnis.
Bahkan, tak sedikit lembaga atau yayasan tersebut yang aktif mencari identitas para pengguna media sosial dan mengirim pesan singkat secara massal dengan tujuan mengumpulkan dana.
Selain lembaga filantropi yang beroperasi secara permanen, ada pula media cetak atau media elektronik tertentu yang mengumpulkan donasi dari pembaca atau pemirsa televisi.
Tapi, hal ini biasanya bersifat insidentil, yakni bila terjadi bencana besar seperti gempa bumi di suatu daerah. Jadi, dana yang terkumpul disalurkan ke daerah bencana tersebut.
Bagusnya, jika pengumpulan dana dilakukan oleh pihak media, laporan penggunaannya relatif transparan, dan ongkos operasional tidak diambil dari donasi.
Sedangkan bagi lembaga filantropi yang rajin memasang iklan, memunculkan kekhawatiran, jangan-jangan biaya iklan diambilkan dari donasi yang sudah terkumpul.
Jika para donatur mengetahui dari dana yang disumbangkannya justru dipakai untuk biaya iklan, termasuk biaya operasional lembaga filantropi (gaji pengurus, sewa gedung, dan sebagainya), belum tentu mereka mengikhlaskannya.
Memang, Indonesia terkenal sebagai bangsa yang paling dermawan. Namun, jangan kedermawanan masyarakat disalahgunakan oleh lembaga filantropi atau oleh sebagian pengurusnya.
Jika memang ada biaya operasional yang diambil dari donasi, sebaiknya dijelaskan kepada donatur sebelum mereka menyumbang dana.
Banyak memang yang perlu dilakukan pembenahan, seperti telah diuraikan di bagian awal tulisan ini, baik dari sisi regulasi, maupun pengawasan.