Berita di Kompas.id (2/3/2023) terkait dengan tantangan yang harus dihadapi konsumen properti saat ini, khususnya konsumen berusia muda, menarik untuk dicermati.
Sebelum itu, topik tentang makin sulitnya generasi muda sekarang untuk mempunyai rumah sendiri, sudah sering mengemuka di media massa.
Laju inflasi yang semakin meningkat yang diiringi dengan kenaikan suku bunga kredit, jelas akan semakin menyulitkan calon konsumen properti melalui mekanisme kredit bank.
Nah, yang menjadi fokus tulisan ini, pada kompas.id di atas juga disinggung soal kaitan kartu kredit dan pinjaman online (pinjol) dengan kredit pemilikan rumah (KPR).
Kalau dulu, permohonan KPR ditolak bank karena calon peminjam terlilit utang kartu kredit, maka sekarang pengajuan KPR ditolak karena calon peminjam menunggak utang pinjol.
Memang, dalam mekanisme proses permohonan kredit, pihak bank wajib menelusuri riwayat pinjaman sebelumnya yang dinikmati calon peminjam.
Riwayat itu tidak hanya mencakup data di semua perbankan nasional, tapi melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), juga akan diketahui data dari perusahaan pengelola pinjol.
SLIK dikelola oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan dapat diakses oleh semua bank. Kalau dulu, dikenal dengan BI Checking atau Sistem Informasi Debitur (SID) yang dikelola Bank Indonesia.
Artinya, seseorang yang menunggak pengembalian kredit di bank manapun, termasuk juga di lembaga keuangan lain serta melalui aplikasi pinjol, akan masuk daftar hitam.
Dengan demikian, akan sulit bagi para penunggak kredit untuk memperoleh kredit baru, sebelum namanya dikeluarkan dari daftar hitam.
Fokus tulisan ini sebetulnya tidak membahas KPR, tapi melihat siklus bisnis kartu kredit yang diperkirakan mulai memasuki tahap penurunan.
Beberapa hal yang menjadi penyebab bisnis kartu kredit akan memasuki masa senjakala, adalah sebagai berikut.
Pertama, adanya regulasi dari Bank Indonesia (BI) yang membatasi jumlah kartu kredit dan limit kreditnya, yang dikaitkan dengan penghasilan pemegang kartu.
Bagi mereka yang punya penghasilan Rp 3 juta hingga Rp 10 juta per bulan, maksimal hanya bisa mempunyai kartu kredit dari 2 bank.
Adapun jumlah limit kartu kredit diatur paling banyak 3 kali dari gaji bulanan si pemegang kartu. Hal ini dibuktikan dengan slip gaji, faktur pajak, dan bukti pendukung lainnya.
Kedua, banyaknya saingan dari berbagai perusahaan yang mengelola aplikasi pinjol dan paylater. Proses pemberian kreditnya jauh lebih cepat dan persyaratannya lebih ringan.
Seseorang yang pada waktu bersamaan mendapatkan kredit dari beberapa aplikasi yang melayani pinjol, menjadi hal biasa.Â
Ketiga, pihak bank sendiri tidak lagi jor-joran dalam berburu nasabah kartu kredit. Bank lebih memilih terfokus mempertahankan nasabah yang sudah ada.
Padahal, dulu, kira-kira 10 tahun yang lalu, bank demikian agresif berburu calon nasabah kartu kredit.
Kalau ketika itu Anda lagi ngopi-ngopi cantik di executive longue di bandara menunggu pesawat yang akan Anda tumpangi  boarding, bisa jadi Anda akan terganggu.
Soalnya, beberapa orang sales promotion girl (SPG) menghampiri Anda secara bergantian untuk menawarkan kartu kredit.Â
Atau, jika Anda lagi cuci mata di mal, Anda akan melihat ada SPG kartu kredit yang mangkal di salah satu tempat yang banyak dilewati orang.
Meskipun sudah punya kartu kredit dari Bank A, seseorang bisa saja tergoda mendapatkan kartu dari Bank B.
Itu terjadi, bila pemegang kartu kredit Bank B diiming-imingi  diskon jika berbelanja di tempat-tempat tertentu.
Sekarang, yang lebih agresif justru diskon kalau berbelanja pakai aplikasi tertentu atau membayar dengan dompet digital tertentu.
Keempat, kebanggaan seseorang karena memiliki kartu kredit juga mulai menurun.
Kartu yang banyak di dompet malah dinilai kurang praktis, ketimbang melakukan transaksi apapun yang cukup menggunakan satu gawai saja.
Sangat berbeda dengan sekitar 10 tahun lalu. Ketika itu  kartu kredit seolah-olah sesuatu yang wajib dipunyai dan dibawa ke mana-mana.
Dari keempat faktor di atas, kemudahan pinjaman dari pinjol dan paylater disinyalir sebagai faktor utama dalam menjungkalkan bisnis kartu kredit.
Namun demikian, penerima kredit dari aplikasi pinjol dan paylater perlu meningkatkan kewaspadaannya.
Sebaiknya, jika akan menggunakan pinjol atau paylater, Â gunakanlah yang dikelola oleh perusahaan yang sudah terdaftar dan mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Calon peminjam pinjol dan paylater perlu cermat berhitung tentang kemampuannya mengembalikan kredit. Intinya, harus jujur kepada diri sendiri dan jangan gampang tergoda.
Bila salah mengukur kemampuan, akibatnya bisa fatal. Seperti kata pepatah, bila "besar pasak daripada tiang", akhirnya ibarat "jatuh tertimpa tangga".
Kesimpulannya, meminjam dari pihak lain, baik berupa kartu kredit maupun pinjol, pada prinsipnya sama saja. Maksudnya perlu hati-hati dan sesuaikan dengan kemampuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H