Persepakbolaan nasional memang lagi tidak baik-baik saja, setelah terjadinya Tragedi Kanjuruhan yang menghebohkan bagi seluruh dunia.
Banyak sekali korban tewas pada musibah tersebut. Hingga artikel ini ditulis (Jumat, 21/10/2022), tercatat 134 orang yang meninggal dunia.
Selain itu, ada ratusan korban yang luka-luka, baik luka berat maupun yang tergolong luka sedang dan ringan.
Belum lagi bila melihat tayangan berita televisi yang meliput korban yang dirawat di rumah, di mana matanya masih berwarna merah pekat, diduga dampak dari terkena gas air mata.
Dan kerugian yang tak bisa dinilai dengan uang adalah banyaknya suporter klub Arema FC yang menderita trauma secara psikologis.
Mungkin banyak di antara mereka yang tak akan datang lagi ke stadion bila nanti pertandingan sepak bola sudah digelar lagi.
Padahal, tak ada pertandingan sepak bola yang demikian mahal harganya. Yang namanya pertandingan, bagaimanapun bersifat hiburan.
Tapi, selalu ada hikmah di balik musibah. Sekarang, bekerjasama dengan FIFA, tengah digodok transformasi sepak bola nasional.
Sehingga, nantinya diharapkan standar keamanan bagi penonton semakin meningkat dan peristiwa serupa tragedi Kanjuruhan tak kan terulang di mana pun.
Terlepas dari tragedi di Malang serta transformasi yang tengah disusun, sepak bola selain bernilai hiburan, juga punya nilai bisnis yang amat besar.
Coba saja hitung, berapa jumlah bola yang terjual selama satu tahun di seluruh dunia? Berapa tenaga kerja yang terlibat dalam industri pembuatan bola?
Barangkali sudah banyak yang tahu, bola produksi Majalengka, Jawa Barat, dipakai dalam berbagai pertandingan kelas dunia.
Indonesia boleh saja tidak ikut bertanding di Piala Dunia, tapi bola made in Indonesia cukup membanggakan sebagai "wakil".
Untuk Piala Dunia tahun ini yang akan berlangsung di Qatar, giliran bola produksi PT Global Way Indonesia, Madiun, Jawa Timur, yang dipakai (suaramerdeka.com, 21/6/2022).
Belum lagi kalau kita membicarakan jersey pemain dan merchandise klub-klub terkenal, yang juga tak kalah besar nilai bisnisnya.
Tapi, yang sering jadi pertanyaan dan adakalanya susah dicerna nalar, betapa sepak bola mampu menyihir ratusan jutaan penggila bola di seluruh dunia, yang merupakan suporter fanatik dari berbagai klub.
Tentu saja, di antaranya termasuk kelompok suporter yang ada di Indonesia, seperti suporter Arema yang jadi korban Tragedi Kanjuruhan.
Karena "sihir" itulah, hak siar tayangan langsung pertandingan sepak bola sangat mahal harganya.Â
Tapi, stasiun televisi yang memperoleh hak siar tetap menuai untung, karena para sponsor demikian banyak.
Dampak ikutannya, komentator dan pengamat sepak bola pun bisa menuai honor yang lumayan.
Meskipun ada siaran langsung, penjualan tiket untuk menonton langsung di stadion laris manis pula.
Padahal, untuk menonton langsung pertandingan di Liga Inggris dan liga lainnya di Eropa, relatif mahal, sudah di atas Rp 1 juta.
"Sihir" sepak bola juga membuat hal yang kurang masuk akal, selalu ada orang-orang super kaya atau crazy rich yang nekat menghabiskan uang demikian besar untuk memiliki klub.
Mungkin jumlah yang dikeluarkan Raffi Ahmad agar punya klub RANS FC belum terlalu mencengangkan.
Namun, harga akuisisi klub-klub di Eropa sungguh gila-gilaan. Ditambah lagi harga kontrak pemain bintang yang melangit.
Bisa jadi kebanggaan punya klub sepak bola profesional yang terkenal merupakan sensasi yang tak ternilai.
Kebetulan, dunia yang dikuasai sistem ekonomi yang lebih mengarah ke sistem kapitalis, sering memunculkan segelintir orang yang sangat mendominasi dalam persaingan merebut pasar.
Jadi, bagi orang yang punya dana melimpah ruah, tentu tak ada masalah untuk mengakuisisi klub yang diincarnya.
Hanya saja, kadang-kadang tergelitik juga pertanyaan, apakah ada klub bola yang dijadikan tempat pencucian uang yang didapat dari hasil korupsi atau bisnis ilegal?
Kalau memang ada, tentu menjadi tantangan besar bagi aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan.
Jika tidak atau belum ada, menjadi tantangan juga bagaimana memagarinya dengan berbagi upaya preventif agar sepak bola tidak disusupi praktik pencucian uang.
Pencucian uang atau tidak, di negara kita belum lama ini ada berita klub Liga 1 yang mendapat sponsor yang diduga berkaitan dengan pengelola judi online.
Sedangkan di Eropa, seperti ditulis Kumparan.com (19/7/2020), sepak bola kerap menjadi lahan bagi banyak pengusaha sebagai moda pencucian uang.
Sederhananya, para pencuci uang ini mencampuradukkan antara "uang haramnya" dan "uang halal".
Tapi, tentu berbagai upaya juga telah dan akan dilakukan berbagai pihak yang berkepentingan agar sepak bola tidak tercemar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H