Kembali ke soal reshuffle, menteri yang jadi ketua umum partai sekarang jadi bertambah. Sebelumnya ada 3 orang, yakni Prabowo (Gerindra), Airlangga Hartarto (Golkar), dan Suharso Monoarfa (PPP).
Sekarang bertambah dengan adanya Zulkifli Hasan (PAN). Hebatnya, semua ketua umum parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) terhimpun dalam kabinet hasil reshuffle.
Semakin dapat dibaca bahwa Presiden Joko Widodo "dekat" dengan KIB. Nah, jika Presiden juga dekat dengan Ganjar Pranowo, siapa tahu, KIB akan mengusung Ganjar-Airlangga?
Bahkan, ada pengamat yang berpendapat bahwa Joko Widodo lah menjadi "kingmaker", figur di balik layar KIB. Hanya saja, ini bersifat dugaan dan susah dibuktikan.
Tapi, secara logika, wajar saja Joko Widodo berkeinginan agar presiden mendatang adalah figur yang beliau percaya mampu melanjutkan proyek-proyek jangka panjang yang telah dimulainya.
Di antara sejumlah proyek tersebut, pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke kota baru yang dinamakan Nusantara dan berlokasi di Kalimantan Timur, menjadi salah satu yang terpenting.
Jika Presiden Jokowi memang merestui KIB, publik mungkin bertanya-tanya, bukankah pemerintahan sekarang juga hasil koalisi? Dengan adanya KIB, berarti ada "koalisi" dalam koalisi.Â
Akhirnya, pertanyaan besarnya adalah, apakah resuffle kemarin bertujuan untuk memperbaiki kinerja pemerintahan atau justru memperkuat posisi politik?
Selain itu, perlu juga dikritisi tentang keberadaan wakil menteri yang juga mengakomodir pengurus partai, antara lain dari PSI dan PBB.Â
Apakah hal itu sebagai "balas budi" semata, karena selama ini hasil kerja wakil menteri tidak banyak diketahui masyarakat. Sehingga, dikhawatirkan hanya menambah beban anggaran untuk gaji dan fasilitas sang wakil menteri.
Hasil reshuffle kemarin, 3 dari 5 menteri dan wakil menteri yang dilantik, berlatar belakang parpol. Bisa ditafsirkan, kabinet zaken semakin jauh dari harapan.