Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Inflasi Tak Selalu Jelek, Stagflasi yang Bikin Mandek

8 Juli 2022   06:13 Diperbarui: 9 Juli 2022   05:08 1179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi stagflasi| Didie SW/Kompas.id

Baru-baru ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan bahwa perekonomian Indonesia masih dihantui ancaman inflasi akibat meningkatnya harga pangan.

Kompas.id (7/7/202) yang memberitakan pernyataan Menkeu tersebut, menjelaskan bahwa dalam situasi ketidakpastian ekonomi global dan perang Rusia-Ukraina, rantai pasok global pun terganggu.

Hal itulah yang imbasnya merembet hingga menyebabkan lonjakan harga pangan dunia. Bahkan, harga pangan atau bahan makanan produksi lokal pun di negara kita harganya naik luar biasa.

Sebagai contoh, saat ini ibu-ibu rumah tangga menjerit dengan naik drastisnya harga cabai. Sebelum itu tak terhitung harga barang dan jasa yang naik, mulai dari minyak goreng, gas elpiji, bawang merah, hingga daging sapi.

Nah, kondisi naiknya harga berbagai barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam waktu tertentu, dalam ilmu ekonomi disebut dengan inflasi. 

Sebetulnya, inflasi tidak selalu berarti jelek. Inflasi bisa terjadi karena pasokan barang yang langka (dilihat dari sisi penawaran), bisa pula karena peningkatan belanja konsumen (dilihat dari sisi permintaan).

Jadi, kalau inflasi karena permintaan yang meningkat malah pertanda bangkitnya kegairahan ekonomi, yang bisa berlanjut dengan peningkatan produksi, sehingga pertumbuhan ekonomi juga meningkat.

Artinya, sepanjang inflasi sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, oke-oke saja. Biasanya, level inflasi seperti itu masih di bawah 4 persen dalam satu tahun.

Namun, bila pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan bersamaan dengan kondisi inflasi yang meningkat, inilah yang disebut dengan stagflasi. Asal katanya adalah gabungan dari stagnasi dan inflasi.

Peringatan dari Menkeu di atas, bisa ditafsirkan bahwa kita perlu waspada, karena inflasi sekarang lebih disebabkan kelangkaan pasokan.

Di lain pihak, pendapatan masyarakat tidak meningkat, sehingga bisa diartikan bahwa dengan inflasi tersebut membuat daya beli masyarakat menurun.

Menurut data terbaru, pada akhir Juni 2022, inflasi di Indonesia tercatat sebesar 4,35 persen secara year-on-year, maksudnya dihitung selama setahun terakhir dari Juni 2021 hingga Juni 2022.

Data tersebut memperlihatkan peningkatan karena pada Mei 2022 secara year-on-year inflasi di negara kita berada di level 3,55 persen.

Kita pantas khawatir mengingat angka 4,35 persen di atas adalah yang tertinggi dalam 5 tahun terakhir atau dihitung sejak Juni 2017.

Tidak hanya Menkeu yang menyampaikan peringatan soal "hantu" inflasi. Hal yang sama sudah diingatkan oleh Bank Dunia karena ekonomi global memang dikhawatirkan "diserang" oleh stagflasi.

Dalam kondisi stagflasi, tidak hanya ibu rumah tangga yang menjerit. Bapak-bapaknya juga ikut menjerit karena banyak yang terkena PHK massal.

Makanya, stagflasi memberi dua kali pukulan beruntun, yakni kenaikan harga barang dan turunnya penghasilan masyarakat. Tak heran, kesulitan hidup makin menjadi-jadi saat stagflasi.

Ilustrasi dok. Quora.com
Ilustrasi dok. Quora.com

Ironisnya, stagflasi yang secara global sudah di depan mata kita, justru saat semua negara berharap terjadi pemulihan ekonomi pada periode transisi dari pandemi ke endemi sekarang ini.

Proyeksi terbaru dari Bank Dunia (Juni 2022), memangkas drastis pertumbuhan global dari angka 4,1 persen pada proyeksi sebelumnya menjadi 2,9 persen.

Perlu diketahui, pertumbuhan ekonomi global pada 2021 lalu tercatat 5,7 persen. Jadi, proyeksi sebelumnya sebesar 4,1 persen untuk 2022 sudah memperhitungkan dampak perang Rusia-Ukraina.

Kalau betul nanti realisasinya sebesar 2,9 persen, bisa dikatakan terjun bebas dari kondisi 2021. Sedangkan inflasi global diproyeksikan sebesar 6,2 persen.

Tak pelak lagi, ini semacam lorong gelap yang harus dilalui oleh bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Negara kita jelas sangat terpengaruh oleh kondisi global.

Namun demikian, ada sedikit harapan karena pada tahun ini Indonesia memegang Presidensi G20 (forum kerja sama 20 negara yang mencerminkan kekuatan ekonomi utama dunia).

Dengan posisi tersebut, Indonesia berperan besar untuk menggiring para pemimpin negara adikuasa agar memperlancar arus produksi dan distribusi bahan pangan, sehingga harga barang kembali normal.

Apalagi, bila inisiatif Presiden Joko Widodo untuk menciptakan perdamaian antara Rusia dan Ukraina dapat terwujud, stgaflasi yang kita khawatirkan mudah-mudahan tidak terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun