Apalagi, bila barang yang dijualnya karena sudah lama tidak terjual, menjadi kedaluwarsa. Ini ibarat kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga.
Syukurlah, akhir-akhir ini, ada semacam gerakan yang bersifat infomal yang mengajak masyarakat untuk berbelanja di warung tetangga.Â
Penggagas gerakan ini dan diikuti oleh pihak lain yang setuju dengan ide gerakan tersebut, melakukan kampanye di media sosial.
Ada keuntungannya bila kita berbelanja di warung tetangga. Selain membantu pedagang kecil, kita juga bisa bersosialisasi dengan saling bertukar kabar.Â
Peduli kepada tetangga yang punya warung, merupakan salah satu cara untuk membangun kepedulian sosial. Jangan masalahkan bila harga di warung sedikit lebih mahal ketimbang di minimarket.
Ingat, jika antar tetangga tidak saling peduli, akan muncul kecemburuan sosial yang bisa saja berakibat munculnya hal yang tidak diinginkan.Â
Misalnya, tetangga yang lagi kalap karena tidak punya uang untuk makan, bisa melakukan pencurian. Pada akhirnya hubungan antar tetangga menjadi tidak harmonis.
Tentu, selain gerakan seperti di atas, pemerintah di masing-masing daerah perlu bertindak seperti yang dilakukan oleh Pemkot Bogor di atas.
Bukannya minimarket harus dilarang. Tapi, jumlahnya jangan sampai terlalu banyak, tidak masuk terlalu jauh ke tempat-tempat yang sudah dipenuhi warung-warung kecil.
Ada juga contoh lain, selain pemkot Bogor tersebut. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar, hingga sekarang belum memberi lampu hijau bagi dua waralaba minimarket yang sangat dominan di Indonesia, yakni Indomaret dan Alfamart.
Namun, minimarket yang dimiliki pengusaha setempat dengan berbagai nama semakin banyak beroperasi di Sumbar. Yang cukup dominan adalah Minang Mart yang dimiliki oleh beberapa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) setempat.