Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Pemudik yang Balik Lebih Awal Pertanda Kehabisan Uang?

4 Mei 2022   18:18 Diperbarui: 8 Mei 2022   13:19 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kepaatan saat arus mudik dan arus balik|dok. ANTARA/M Ibnu Chazar, dimuat republika.co.id

Seorang teman saya melakukan perjalanan mudik lebaran dari Surabaya menuju Padang dengan mobil pribadi. Berangkat dari Surabaya pada 28 April 2022 pukul 22.08 dan sampai di Padang 1 Mei 2022 sekitar pukul 15.00.

Saya hitung-hitung, teman saya itu menghabiskan waktu selama 63 jam. Padahal, normalnya dari Surabaya ke Jakarta yang sudah terhubung sepenuhnya dengan jalan tol hanya butuh sekitar 12 jam (sudah termasuk istirahat makan dan salat).

Kemudian, dari Jakarta ke Padang membutuhkan 30 jam sejak ada jalan tol Bakauheni-Palembang. Sekiranya teman saya itu beristirahat di Jakarta selama 6 jam, maka Surabaya-Padang bisa tembus 48 jam.

Tapi, kondisi pada libur lebaran memang bukan kondisi normal. Teman saya itu hanya bisa lewat tol dari Surabaya hingga Semarang, setelah itu pindah ke jalan non tol hingga Bekasi. 

Hal itu tentu karena jalan tol diutamakan untuk pemudik dari Jakarta ke arah Semarang. Jangan mengira karena melawan arus, teman saya akan lancar dalam perjalanan. Macet sangat parah dijumpainya dari Cirebon hingga Cikampek. 

Berikutnya, titik kemacetan terparah yang ditemui teman saya ketika menjelang masuk pelabuhan Merak hingga kendaraan bisa naik kapal feri. 7 kilometer menuju dermaga ia sempat tekena macet dan tidak bergerak sama sekali. 

Baru subuh besoknya (sekitar pukul 05.00) teman saya bisa naik kapal. Dihitung sejak 19.30 malam sebelumnya sejak ia terkena stuck, artinya membutuhkan waktu 9 jam 30 menit hingga bisa naik kapal.

Nah, kalau arus mudik dari Jakarta ke arah Cirebon dan Semarang, saya mengikuti berita melalui media televisi. Kondisi terparah terjadi pada Jumat (29/4/2022) yang merupakan hari pertama libur resmi lebaran.

Namun, secara umum, kondisi arus mudik bisa dikatakan cukup baik karena adanya kebijakan ganjil genap dan jalan satu arah. Paling tidak, kondisi sangat parah seperti tragedi Breksit (Brebes Exit) pada mudik 2016 tidak terulang lagi.

Agar arus balik lebih baik lagi kondisinya ketimbang arus mudik, Presiden Joko Widodo telah mengingatkan agar para pemudik jangan serentak kembali pada hari Sabtu-Minggu (7 dan 8 Mei 2022).

Sebagian pemudik harus ikhlas kembali lebih awal, seperti yang diharapkan Presiden Joko Widodo. Misalnya, berangkat dari kampung halaman pada Rabu atau Kamis ini (4 dan 5 Mei 2022).

Atau, kalaupun berangkat pada Jumat (6/5/2022) sebaiknya di pagi hari. Setelah salat Jumat, diperkirakan arus balik sudah mulai padat.

Namun, jika ada pemudik yang dari atasannya mendapat cuti tambahan, atau yang bekerja di sektor informal, bisa pula memilih balik setelah tanggal 8 Mei 2022, ketika puncak arus balik sudah terlewati.

Tapi, imbauan Presiden diperkirakan mungkin agak sulit dipenuhi para pemudik. Sepertinya sudah tradisi  banyak pemudik untuk balik ke kota perantauan pada saat mepet, dan sudah siap mental terkena macet.

Para pemudik masih ingin berlama-lama di kampung halamannya, karena seminggu di sana belum semua sanak famili dan tempat-tempat wisata terkunjungi.

Ingat, pada libur lebaran, kemacetan di Jakata dan sekitarnya serta kota-kota besar lainnya, pindah ke daerah yang menjadi kampung halaman para pemudik.

Sebagai contoh, di kampung halaman saya, Sumbar, sudah terkenal dengan kemacetan parah di jalan-jalan utama selama libur lebaran. 

Hal itu sudah berlangsung sejak belasan tahun lalu, ketika warga yang tinggal di kampung semakin banyak yang memiliki kendaraan roda empat.

Demikian pula para perantau, lebih suka membawa mobil sendiri atau mobil yang disewanya untuk mudik ke kampung halalan.

Pada hari biasa, kendaraan yang bersliweran di Sumbar hanya didominasi oleh kendaraan bernomor polisi BA (kendaraan asal Sumbar) dan BM (Riau).

Tapi, di saat lebaran, plat B (Jakarta, Depok, Bekasi, Tangerang), F (Bogor), D (Bandung), BK (Medan), BH (Jambi) dan BG (Palembang) cukup banyak. 

Bahkan, seperti yang saya singgung di awal tulisan ini, teman saya membawa mobilnya sendiri berplat L (Surabaya).

Tak heran, kemacetan sudah konsekuensinya. Bayangkan, kalau Payakumbuh-Padang sejauh 125 kilometer yang normalnya dapat ditempuh selama 3,5 jam, di saat lebaran bisa menjadi 7-8 jam.

Bila pemudik di Payakumbuh ingin bersantai di Lembah Harau, destinasi wisata paling top di Payakumbuh, 10 kilometer sebelum gerbang masuk sudah terkena macet parah.

Jadi, gerak para pemudik agak terbatas juga selama di kampung. Makanya, bisa jadi mereka memilih untuk kembali ke tanah rantau saat di hari terakhir yang tak mungkin ditunda lagi. 

Pemudik juga ingin kembali pada waktu yang mepet, karena ingin memakai "terjebak macet" sebagai alasan kepada atasannya untuk terlambat masuk kerja.

Tentu saja tetap ada pengecualian, di mana sebagian pemudik kembali lebih awal sebelum puncak arus balik. Namun, diduga alasannya bukan karena takut macet, tapi karena sudah kehabisan uang. Hanya tinggal untuk ongkos balik saja. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun