Hubungan antar tetangga yang tidak akrab sebetulnya fenomena yang sudah biasa di beberapa kawasan di Jakarta. Prinsip individualisme, lu-lu gua-gua, sudah identik dengan kehidupan di ibu kota.
Apalagi, jika di suatu lingkungan hampir semua warganya adalah kaum pendatang (tidak ada orang Betawi sebagai penduduk asli Jakarta), dan semua warganya punya kesibukan di tempat pekerjaan masing-masing.
Makanya, kedekatan dengan teman kantor atau teman satu profesi lebih terasa ketimbang dengan tetangga. Ada apa-apa, biasanya yang lebih dahulu tahu adalah teman kantor, bukan tetangga.
Padahal, normalnya atau yang kita sering mendengar nasehat dari orang tua, berbaik-baiklah dengan tetangga, karena kalau ada apa-apanya tetangga lah yang menjadi tempat minta tolong pertama kali.
Misalnya, jika istri mau melahirkan di tengah malam dan kita tidak punya kendaraan pribadi, tetangga yang sudah akrab tidak akan keberatan mengantarkan ke rumah sakit bersalin.
Tapi, begitulah, di beberapa kawasan pemukiman di Jakarta, nilai-nilai bertetangga betul-betul sudah terdistorsi sedemikian rupa, sehingga sepertinya mau mengetok pagarnya pun kita enggan.
Nah, kalau sudah seperti itu, dalam hal kita mau mudik lebaran dan meninggalkan rumah dalam keadaan kosong, jelas tidak mungkin melibatkan tetangga. Apalagi, karena semua tetangga juga kaum pendatang, mereka pada mudik pula.
Maka, pengamanan yang standar tentu tetap perlu kita lakukan seperti yang sudah ditulis di berbagai media, termasuk Kompasiana.
Contoh pengamanan standar tersebut adalah memasang kunci yang berlapis, baik untuk pintu maupun jendela. Mulai dari pintu semua kamar, pintu rumah, hingga pagar, agar dikunci dengan kunci bermutu baik.
Kemudian, jangan lupa melepaskan stop kontak listrik ke berbagai peralatan elektronik. Untuk bohlam di dalam rumah sebaiknya dimatikan.