Keberadaan kafe-kafe di malam hari menambah semarak kota Payakumbuh, yang bahkan mengundang banyak pengunjung asal Riau. Kota ini memang terletak di tengah-tengah antara 2 ibukota provinsi, Pekanbaru dan Padang.
Jangan heran kalau di Payakumbuh sudah ada KFC, Pizza Hut, dan berbagai restoran yang bersifat franchise lainnya, baik yang berbau asing maupun nasional.
Belum lagi kalau dihitung banyak sekali pedagang kecil yang menjual ayam goreng tepung ala Amerika, atau ala nasional (tapi bukan lokal Sumbar) seperti ayam geprek, ayam penyet, tahu berontak, dan sebagainya.
Tapi, satu hal yang menarik perhatian saya, ada banyak warung pecel lele di Payakumbuh yang menyebar hingga pinggir kota. Ada yang bergaya tenda kaki lima, ada pula yang bergaya restoran kekinian dengan bangunan permanen.
Hebatnya, sambal pecel lele di Sumbar bisa dimodifikasi sehingga cocok dengan lidah Minang. Artinya, jika banyak warung Padang yang merambah pulau Jawa dengan memodifikasi rasa tidak sepedas aslinya di Sumbar, pedagang pecel lele juga bisa beradaptasi.
Keberanian para perantau asal Jawa yang membuka warung pecel lele dan pecel ayam pantas diacungi jempol. Mereka tidak takut bersaing dengan pedagang warung nasi masakan Minang di "kandang" orang Minang itu sendiri.
Dengan demikian, anggapan bahwa lidah Minang hanya cocok dengan masakan Minang, terpatahkan sudah. Soalnya, selain pecel lele, di Payakumbuh juga ada Soto Lamongan, Soto Betawi, Soto Bandung, Nasi Uduk, dan sebagainya.
Beberapa orang keponakan saya malah jadi ketagihan makan pecel lele. Ada sensasi tersendiri saat makanan masuk ke lidah, kata mereka.
O ya, di atas saya telah menyinggung tentang maraknya kafe-kafe di Payakumbuh. Yang menarik bagi saya, banyak kafe yang dilengkapi dengan live music.
Menurut saya, Payakumbuh berkembang pesat menjadi semacam "Little Bandung" atau "Little Kuta" di Sumbar.