Menjelang lebaran, biasanya umat Islam tidak lupa dengan kewajibannya membayar zakat fitrah. Zakat ini harus dibayarkan selambat-lambatnya menjelang salat idul fitri.
Bahkan, misalkan ada bayi yang baru lahir menjelang salat idul fitri, bagi orangtuanya sudah timbul kewajiban membayarkan zakat fitrah atas nama bayinya itu.Â
Zakat fitrah diberikan dalam bentuk makanan pokok yang kalau di negara kita adalah beras sebanyak 2,5 kilogram atau 3,5 liter per jiwa.
Ada juga yang memberikan dalam bentuk uang seharga beras yang dimakannya sehari-hari. Untuk wilayah Jakarta, besarnya zakat fitrah pada tahun ini Rp 45.000 per jiwa (Kompas.com, 23/4/2022).
Zakat fitrah di atas dibagikan kepada kaum duafa dan kelompok lain yang berhak sesuai ketentuan agama, agar pada hari lebaran tidak ada orang yang kelaparan.
Diperkirakan mayoritas umat Islam sudah tahu dan sudah menjalankan kewajiban zakat fitrah, karena hal ini sering diumumkan di masjid atau berbagai komunitas muslim menjelang bulan puasa berakhir.
Yang mungkin masih sering terlupakan oleh sebagian umat Islam adalah kewajiban membayar zakat mal atau zakat atas kepemilikan harta secara individu.
Zakat mal agak mirip dengan pajak penghasilan (PPh) dalam ketentuan perpajakan di negara kita, tapi esensinya tentu berbeda. Yang satu kewajiban secara agama Islam, yang satu lagi kewajiban sebagai warga negara Indonesia.
Kenapa disebut agak mirip? PPh adalah kewajiban yang dihitung atas dasar penghasilan selama satu tahun, yakni dari 1 Januari hingga 31 Desember.
Kemudian, ada batas penghasilan minimal yang terkena PPh. Artinya, jika akumulasi penghasilan dalam setahun di bawah batas minimal, seseorang tidak terkena kewajiban untuk membayar PPh.
Demikian juga zakat mal. Perhitungannya dilakukan setahun sekali. Demi praktisnya, ada baiknya dihitung mulai dari 1 Syawal (pas di hari raya Idul Fitri) hingga 30 Ramadan (29 Ramadan jika umur Ramadan di tahun tersebut 29 hari).
Memang, perhitungan satu tahun tidak harus seperti contoh di atas. Yang penting haul atau jangka waktunya telah satu tahun.
Tapi, agar gampang mengingatnya, bersamaan dengan membayar zakat fitrah, seseorang sebaiknya juga menghitung zakat mal atas hartanya yang sudah dimiliki dalam satu tahun terakhir.
Nah, yang jadi semacam batas minimal untuk terkena zakat disebut dengan nisab. Untuk pemilikan emas, nisabnya adalah 85 gram dan besarnya zakat adalah 2,5 persen dari harta yang tersimpan selama setahun.
Harta yang tersimpan dimaksud tidak hanya berupa emas, tapi juga perak, uang tunai, tabungan, deposito, giro, dan jenis lainnya yang gampang diuangkan dengan segera.
Jika harga emas per gram saat ini Rp 1.000.000, maka bila seseorang punya total harta net (setelah dikurangi utang) di atas Rp 85 juta dalam satu tahun, ia harus membayar zakat 2,5 persen dari total harta net tersebut.Â
Ada lagi perhitungan untuk zakat profesi, zakat pertanian, dan zakat perdagangan. Tulisan ini tidak membahas hal ini, tapi bagaimana teknis perhitungannya bisa dicari dari berbagai media daring.
Yang ingin disampaikan melalui tulisan ini adalah sekadar mengingatkan, kita jangan merasa sudah selesai kewajibannya dalam membayar zakat bila telah memberikan zakat fitrah.
Perlu diketahui, kewajiban menunaikan zakat sangat kuat dasarnya, karena menjadi salah satu dari lima rukun Islam.Â
Rukun Islam lainnya adalah mengucapkan dua kalimat syahadat, mengerjakan salat, melaksanakan puasa, dan naik haji bagi yang mampu.
Jelaslah, sekiranya umat Islam di Indonesia menaati ketentuan agama dalam hal menunaikan zakat, tentu potensinya sangat besar dalam mempersempit kesenjangan kesejahteraan antar golongan mampu dan golongan kurang mampu.
Namun, seperti telah disinggung di awal tulisan ini, diduga masih banyak umat Islam di negara kita yang belum melaksanakan pembayaran zakat mal. Sehingga, potensi besar itu belum terealisasikan dengan baik.Â
Makanya, warga kurang mampu banyak yang belum "naik kelas" karena baru menerima zakat fitrah dan sedekah, selain bantuan sosial dari pemerintah dan masyarakat.
Hal ini menjadi tantangan bagi Badan Amil Zakat, baik di level nasional maupun daerah, bagaimana mengkonversi potensi besar di atas menjadi kenyataan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H