Ini kisah ketika baru-baru ini saya ada keperluan pulang ke kampung halaman di Payakumbuh, Sumbar, pada puasa hari ke-6. Â Hanya 3 hari di sana, setelah itu saya kembali ke Jakarta.
Saya juga sempat ke sebuah desa sekitar 16 kilomter dari Payakumbuh arah ke Bukittinggi, yang merupakan desa kelahiran almarhumah ibu saya.Â
Nah, di desa itulah apa yang saya tulis ini terjadi, yakni putusnya tali silaturahmi antar 2 keluarga yang secara silsilah berasal dari kakek buyut yang sama. Tapi, nenek buyutnya berbeda karena si kakek buyut punya beberapa istri.
Kebetulan kalau saya mau ke rumah sepupu saya yang tinggal di desa tersebut, harus melewati jalan kampung. Di pertigaan antara jalan raya ke jalan kampung, terdapat dua rumah yang berdekatan di sisi kiri.
Di kedua rumah itulah masing-masing keluarga  saling bermusuhan itu tinggal. Sudah beberapa tahun terakhir ini antar dua kelurga itu tak lagi bertegur sapa, konon gara-gara rebutan warisan.
Satu di antara dua keluarga itu cukup dekat dengan saya, karena salah seorang anaknya pernah sekolah di Payakumbuh dan berteman dengan saya.
Setahu saya, keluarga teman saya itu tergolong religius. Paling tidak, mereka sekeluarga rajin beribadah.
Cerita tentang rebutan warisan tersebut saya dapat dari teman saya itu, karena kami masih lumayan sering saling bertukar kabar melalui aplikasi media sosial.
Bahwa teman saya ikut-ikutan dengan sikap orang tuanya untuk tidak bertegur sapa dengan keluarga yang berseteru dengannya, juga saya dapat dari cerita teman saya itu sendiri.
Saya tidak dapat menilai kebenaran  cerita itu karena ini masih klaim sepihak versi teman saya. Tentu saya harus tahu versi "lawan"-nya, agar objektif dalam menilai.
Tapi, bukan soal itu arah tulisan ini. Saya lebih tertarik mengupas bagaimana dengan ibadah puasa yang dilakukan oleh orang-orang yang saling bermusuhan? Sahkah puasanya?
Kalau mengikuti ceramah pak ustaz di masjid, disebutkan bahwa marah dan bertengkar dengan orang lain, tidak membatalkan puasa.
Hanya saja, kualitas puasa orang yang lagi marah terbilang rendah, karena tidak sesuai dengan hakikat puasa yakni berupa pengendalian diri atau pengendalian nafsu.
Rasa marah, termasuk yang ditunjukkan dengan tidak saling bertegur sapa, bisa dianggap sebagai kegagalan dalam mengendalikan diri.
Bagi orang yang terlibat dalam suatu konflik dengan orang lain, kalau tidak ada kata sepakat, tentu perlu upaya lain. Misalnya dengan meminta bantuan pihak ketiga, seperti tokoh masyarakat setempat, sebagai mediator.Â
Atau, bisa juga diselesaikan melalui adat yang berlaku di suatu daerah. Jalan terakhir adalah diproses sesuai hukum yang berlaku di negara kita.
Artinya, permusuhan jangan dipelihara, tapi kedua pihak harus menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya. Apalagi, banyak sekali referensi yang menyatakan tidak boleh tidak bertegur sapa dengan saudara, tetangga, atau sahabat lebih dari tiga hari.
Ingat, kehidupan kita sebaiknya seimbang antara memelihara hubungan dengan Allah (hablu minallah) melalui ibadah dan memelihara hubungan sesama manusia (hablu minannas).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H