Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Santri Perlu Waspada, Tak Semua Pesantren Steril dari Aksi Pencabulan

6 Juli 2022   12:32 Diperbarui: 6 Juli 2022   12:34 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang tua yang mengirimkan anaknya belajar di pondok pesantren, karena sangat berharap anak mereka punya modal ketahanan mental yang lebih kuat ketimbang hanya dididik di sekolah umum.

Ketahanan mental berbasis nilai-nilai agama sangat diperlukan mengingat saat ini godaan bagi para remaja terlalu banyak. Padahal, orang tua punya keterbatasan dalam mengawasi kegiatan anaknya.

Serbuan infomasi yang dengan gampang bisa diakses anak-anak melalui gawainya, sungguh meresahkan orang tua. Namun, di lain pihak gawai tersebut digunakan sebagai sarana belajar.

Sementara itu, sebagian orang tua murid malah masih tergolong gagap teknologi (gaptek), sehingga gampang dikibuli oleh anak-anak mereka.

Nah, kalau sudah begitu siapa yang bisa menjamin bahwa anak-anak tersebut hanya melihat konten yang bernilai edukatif saja dari gawainya?

Di lain pihak, serbuan konten bermuatan pornografi membuat anak-anak kewalahan menghindar, malah akhirnya bisa kecanduan. 

Jelaslah, benteng terbaik harus datang dari kesadaran anak itu sendiri. Itulah yang menjadi harapan orang tua dengan mengirimkan anaknya mondok di sebuah pondok pesantren.

Masalahnya, perlu kecermatan dalam memilih pondok pesantren. Soalnya, ternyata ada saja pondok pesantren yang tidak aman bagi murid-muridnya. 

Kompas.id (29/6/2022) memberitakan tentang belasan santriwati yang menjadi korban tindak kekerasan seksual di sebuah pondok peantren di Kecamatan Beji, Depok, Jawa Barat.

Tindakan pencabulan itu diduga dilakukan empat pengajar dan satu santri (kakak kelas dari para korban), seperti yang diceritakan tiga keluarga santriwati yang mendatangi Polda Metro Jaya di Jakarta, Rabu (29/6/2022).

Terlepas dari hukuman apa nantinya yang akan diterima oleh para pelaku (jika terbukti bersalah), para korban bisa jadi mengalami trauma yang sulit untuk dihilangkan.

Perlu diketahui, secara ketentuan hukum, ada berita baik bahwa setelah berproses secara berlarut-larut, akhirnya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sudah disahkan pada April 2022 lalu.

Namun, bagaimana penerapan UU TPKS di lapangan, perlu kecermatan dan keberanian semua komponen aparat penegak hukum dalam menangani perkara TPKS.

Selain itu, juga perlu keberanian korban atau keluarganya untuk melaporkan kasus TPKS yang dialaminya. Soalnya, selama ini diduga banyak kasus yang tidak terungkap karena memang tidak dilaporkan.

Hal yang ideal adalah bagaimana mencegah terjadinya TPKS. Jika kita sepakat bahwa demikian gampangnya konten pornografi tersebar dan diakses oleh siapa saja, maka artinya semua kita harus punya inisiatif untuk berbuat sesuatu.

Contohnya, mulai lebih memperhatikan anak-anak kita, bahkan sejak mereka masih balita. Soalnya, sekarang anak usia 2 tahun, yang berbicara pun belum lempeng, sebagian sudah tahu dengan gawai.

Maka, jangan lagi kita memberikan gawai kepada anak-anak balita dengan tujuan mereka akan duduk manis, tidak merengek.

Orang tua juga jangan terlalu sering main gawai, karena apa yang menjadi perilaku keseharian kita, akan ditiru oleh anak. Kita tak bisa melarang anak, jika kita sendiri melakukan apa yang kita larang.

Kemudian, terhadap anak yang sudah bersekolah, siapa saja teman-temannya perlu kita ketahui. Pilih sekolah yang mengedepankan nilai moral dan agama dan disiplin dalam mengawasi murid.

Anak remaja harus didekati secara personal, harus sering diajak berbicara bergaya santai, bukan sekadar memberi nasehat, memberi perintah atau melarang sesuatu, tapi justru pancing anak untuk bercerita tentang aktivitas kesehariannya.

Jika orang tua masih menganggap anak remaja sebagai anak kecil, justru membuat mereka akan mencari pelarian kepada hal lain, mungkin mengurung diri di kamar main gawai, dan siapa tahu anak terpapar porno.

Sekiranya anak mau tanpa dipaksa untuk masuk pesantren, ada harapan akhlak mereka akan lebih baik. Tapi, tetap perlu kejelian dalam memilih pesantren yang baik.

Jangan menganggap semua pesantren steril dari aksi pencabulan, meskipun yang melakukannya hanya seorang oknum saja. Para santri perlu waspada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun