Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Pentingnya Budaya Malu dengan Meletakkan Malu pada Tempatnya

11 Mei 2022   07:02 Diperbarui: 11 Mei 2022   07:04 2058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah satu bulan berpuasa, jika kita melakukannya dengan sungguh-sungguh, tentu banyak hikmah Ramadan yang dapat kita petik, sehingga perilaku kita menjadi lebih baik.

Justru, untuk melihat apakah puasa kita tidak sia-sia, semuanya akan tercermin dari kebiasaan sehari-hari kita setelah bulan puasa berlalu.

Sebagai contoh, dalam pengendalian nafsu, begitu sekarang bebas makan dan minum di siang hari, apakah kita mampu makan secara tidak berlebihan?

Jika kemurahan hati untuk bersedekah sudah bersemayam dalam diri seseorang, maka meskipun sudah tak lagi bulan puasa, ia tetap akan rajin bersedekah.

Libur panjang dalam rangka merayakan hari lebaran usai sudah, masing-masing kita yang tadinya sempat mudik, tentu telah kembali bekerja seperti biasa.

Nah, mari kita buktikan bahwa dengan hasil penggemblengan selama satu bulan saat Ramadan lalu, cara kita bekerja dan berinteraksi dengan orang lain menjadi lebih baik.

Kita tidak lagi melakukan hal-hal negatif. Misalnya, sebagai pedagang kita harus jujur dalam menjelaskan mutu barang yang kita jual kepada konsumen.

Demikian pula dalam takaran dan timbangan. Kalau ada pelanggan yang membeli 1 kilogram barang, betul-betul 1 kilogram, jangan akali menjadi 0,9 kilogram.

Kalau misalnya kita sebagai orang kantoran, jangan lagi melakukan perbuatan yang nyerempet korupsi, tidak memberikan atau menerima uang pelicin dalam rangka mengurus sesuatu.

Kita tentu familiar dengan istilah "budaya malu", yang maksudnya adalah malu jika kita melakukan kesalahan, tidak sesuai dengan aturan yang ada atau tidak sesuai dengan ajaran agama.

Contoh penerapannya adalah malu kalau kita tidak menjaga kebersihan, malu membuang sampah seenaknya, malu berkata bohong, malu tidak menempati janji, malu melanggar rambu-rambu lalu lintas, malu datang terlambat ke kantor, dan sebagainya.

Seberapa penting menumbuhkan budaya malu? Jika kita ingin menumbuhkan kesadaran pada diri sendiri, tentu menerapkan budaya malu menjadi sangat penting.

Jangan sampai kita menunggu ditegur orang lain, atau yang lebih parah jangan sampai terkena hukuman, baru kita mau berbuat sesuatu yang tidak lagi melanggar aturan yang berlaku.

Nah, terkait rasa malu ini, perlu diingat, kita jangan menempatkannya secara salah. Dalam hal bekerja mencari nafkah yang halal, jika belum dapat pekerjaan yang diincar, tak perlu malu melakukan pekerjaan yang "kasar".

Apa contohnya pekerjaan "kasar" tersebut? Bisa kuli bangunan, pemulung, tukang angkut barang, tenaga kebersihan, juru parkir, dan sebagainya.

Bahkan, ada pula yang malu jadi pedagang kaki lima atau tukang sayur keliling. Maunya langsung berjualan di tempat yang representatif, tapi tidak punya modal, dan akhirnya menganggur.

Ironisnya, pada aparat negara yang tertangkap karena terlibat kasus korupsi, tidak terlihat ekspresi rasa malunya. Padahal, itu mengambil uang rakyat.  

Tampaknya dunia sudah terbalik. Perbuatan yang seharusnya sangat memalukan seperti korupsi, malah si koruptor senyum-senyum disorot kamera wartawan.

Maka, mari kita kembalikan budaya mau pada tempatnya yang tepat. Kita harus tahu, dalam hal apa kita harus malu dan dalam hal apa justru rasa malu harus dibuang jauh-jauh.

Rasa malu itu saja masih belum cukup. Idealnya, seperti kita beribadah, yakni semua perbuatan dilakukan semata-mata karena Allah, bukan sekadar agar tidak malu kepada orang lain.

Jadi, meskipun tidak ada yang melihat, kita tetap tidak mau membuang sampah sembarangan. Yang menjadi filter adalah nurani kita sendiri, bukan ada atau tidak adanya orang lain.

Demikian pula misalnya bagi mereka yang bekerja di instansi pemerintah dan bertugas memberikan pelayanan publik. Meskipun tidak ada yang melihat, jangan lakukan pungli. Layani masyarakat dengan sebaik-baiknya sesuai aturan.

Hidup kita pasti tenang jika kita berbuat yang benar dan semua itu tumbuh berkat kesadaran diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun