Seberapa penting menumbuhkan budaya malu? Jika kita ingin menumbuhkan kesadaran pada diri sendiri, tentu menerapkan budaya malu menjadi sangat penting.
Jangan sampai kita menunggu ditegur orang lain, atau yang lebih parah jangan sampai terkena hukuman, baru kita mau berbuat sesuatu yang tidak lagi melanggar aturan yang berlaku.
Nah, terkait rasa malu ini, perlu diingat, kita jangan menempatkannya secara salah. Dalam hal bekerja mencari nafkah yang halal, jika belum dapat pekerjaan yang diincar, tak perlu malu melakukan pekerjaan yang "kasar".
Apa contohnya pekerjaan "kasar" tersebut? Bisa kuli bangunan, pemulung, tukang angkut barang, tenaga kebersihan, juru parkir, dan sebagainya.
Bahkan, ada pula yang malu jadi pedagang kaki lima atau tukang sayur keliling. Maunya langsung berjualan di tempat yang representatif, tapi tidak punya modal, dan akhirnya menganggur.
Ironisnya, pada aparat negara yang tertangkap karena terlibat kasus korupsi, tidak terlihat ekspresi rasa malunya. Padahal, itu mengambil uang rakyat. Â
Tampaknya dunia sudah terbalik. Perbuatan yang seharusnya sangat memalukan seperti korupsi, malah si koruptor senyum-senyum disorot kamera wartawan.
Maka, mari kita kembalikan budaya mau pada tempatnya yang tepat. Kita harus tahu, dalam hal apa kita harus malu dan dalam hal apa justru rasa malu harus dibuang jauh-jauh.
Rasa malu itu saja masih belum cukup. Idealnya, seperti kita beribadah, yakni semua perbuatan dilakukan semata-mata karena Allah, bukan sekadar agar tidak malu kepada orang lain.
Jadi, meskipun tidak ada yang melihat, kita tetap tidak mau membuang sampah sembarangan. Yang menjadi filter adalah nurani kita sendiri, bukan ada atau tidak adanya orang lain.
Demikian pula misalnya bagi mereka yang bekerja di instansi pemerintah dan bertugas memberikan pelayanan publik. Meskipun tidak ada yang melihat, jangan lakukan pungli. Layani masyarakat dengan sebaik-baiknya sesuai aturan.