Tepat jam 00.00 tanggal 1 April 2022, Pertamina secara resmi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax, yang untuk kota Jakarta menjadi Rp 12.500 per liter, dari sebelumnya Rp 9.000.
Heboh-heboh soal bakal naiknya Pertamax telah terjadi beberapa hari sebelumnya, setelah media massa memberitakan bahwa diperkirakan harganya melangit menjadi Rp 16.000, naik hampir dua kali lipat.
Perkiraan harga tersebut berdasarkan hitung-hitungan nilai keekonomian Pertamax menyusul kenaikan harga minyak di pasar internasional.
Tentu, kenaikan di tingkat global tersebut sangat erat kaitannya dengan meletusnya peperangan antara Rusia dan Ukraina yang menyebabkan terganggunya suplai minyak.
Indonesia tidak bisa mengelak dari kondisi yang sangat tidak diharapkan tersebut. Ujung-ujungnya rakyat banyak sebagai konsumen yang menderita.
Bagi Pertamina atau pemerintah, mungkin merasa dengan menaikkan Pertamax dari Rp 9.000 menjadi Rp 12.500 merupakan bentuk berbagi beban dengan masyarakat.
Artinya, dengan kenaikan tersebut sebetulnya masih membebani pemerintah, karena Pertamax masih di bawah nilai keekonomiannya.
Tapi, bagi masyarakat, hal itu terasa menyesakkan sehingga beban yang sudah berat, semakin berat lagi. Ibarat kata, sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Betapa tidak, kenaikan harga kebutuhan pokok akhir-akhir ini seperti bertubi-tubi. Mulai dari kenaikan harga telur ayam, cabai, bawang, tahu tempe yang menjadi makanan ratusan juta umat, daging, minyak goreng, dan sebagainya.
Jadi, seolah-olah pemerintah kurang peka pada penderitaan rakyat. Meniakkan harga pada waktu yang kurang tepat.
Namun, kalau dipikir-pikir, dilihat dari sisi pemerintah mungkin memang sedang menghadapi situasi yang sangat dilematis.