Itulah 5 grup bisnis yang jadi pemain utama bisnis minyak goreng kemasan di negara kita. Makanya, jangan heran bila melihat merek-merek di atas  mendominasi di banyak pasar swalayan.Â
Begitulah, awalnya emak-emak menjerit ketika berbagai produk minyak goreng kemasan tersebut dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi ketimbang sebelumnya.
Kemudian, pemerintah "melawan" dengan keluarnya kebijakan tentang harga eceran tertinggi (HET) Rp 14.000 per liter pada 1 Februari 2022 yang lalu.Â
Namun, dengan harga yang terjangkau tersebut malah membuat minyak goreng langka. Konsumen mendapatkannya dengan antrean yang panjang dan melelahkan di tempat yang menyelenggarakan semacam pasar murah minyak goreng.
Bahkan, di Samarinda, Kalimantan Timur, seorang ibu sampai meninggal dunia diduga akibat kelelahan usai antre minyak goreng (Kompas.com, 17/3/2022).
Perkembangan berikutnya, pemerintah malah mencabut HET minyak goreng kemasan. Memang, minyak goreng jadi melimpah setelah itu, tapi dengan harga yang mahal, jauh di atas HET.
Sejak HET minyak goreng dicabut, pemberitaan di media massa banyak yang menuliskan bahwa pemerintah dinilai "kalah" melawan pengusaha minyak goreng.
Tapi, tentu saja pemerintah tidak merasa kalah, karena seperti dikatakan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, mereka yang diduga sebagai mafia minyak goreng akan diburu.Â
Sayangnya, Muhammad Lutfi membatalkan janjinya untuk mengumumkan tersangka mafia minyak goreng pada Senin (21/3/2022) yang lalu. Bisnis.com (22/2/2022) mempertanyakan, apakah itu merupakan bukti mafia minyak goreng kuat?
Pemerintah bukannya tidak peduli pada masyarakat kelas bawah. Untuk itu, pemerintah memberikan subsidi untuk minyak goreng curah. Hanya saja, persoalan di seputar harga minyak goreng kemasan tetap perlu diteliti.
Kembali ke soal kartel minyak goreng, untuk membuktikan apakah ada atau sekadar dugaan yang tidak berdasar saja, tentu yang paling tepat didengar suaranya adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).