Istilah "kartel" cukup sering mengemuka bila membahas perdagangan atas barang tertentu yang mengalami kenaikan harga. Meskipun barang tersebut berasal dari beberapa produsen yang berbeda, tapi terlihat "kompak" dalam menaikkan harga.
Kartel memang berkonotasi negatif dalam arti merusak persaingan yang sehat dalam perdagangan. Caranya, beberapa perusahaan yang menguasai pasar untuk suatu produk yang sama, "sepakat" untuk menjual produk tersebut dengan harga tertentu.
Nah, sekarang yang lagi ramai dibicarakan adalah dugaan adanya kartel minyak goreng. Soalnya, dalam peta perdagangan minyak goreng di negara kita, ada beberapa perusahaan yang menguasai pasar.
Ya, raja minyak goreng Indonesia itu, hanya berkisar pada beberapa nama perusahaan saja. Kompas.com (24/1/2022) menuliskan deretan konglomerat penguasa minyak goreng di Indonesia sebagai berikut.
Pertama, Martua Sitorus yang merupakan sosok di balik mengguritanya bisnis Grup Wilmar. Di Indonesia, merek minyak goreng dari grup Wilmar adalah Fortune dan Sania.
Kedua, Anthony Salim yang mengendalikan Grup Salim dengan berbagai bidang usahanya. Memang, yang paling terkenal dari grup ini adalah produk mi instannya dengan merek Indomie, yang telah merambah ke berbagai negara.
Tapi, selain itu, grup Salim juga mempunyai perkebunan sawit. Adapun merek minyak goreng dari grup Salim adalah Bimoli, Delima, dan Happy.
Ketiga, Keluarga Widjaja yang merupakan pemilik Grup Sinar Mas. Merek minyak goreng yang terkenal dari grup ini adalah Filma.
Keempat, Bachtiar Karim, yang bersama saudaranya, Burhan dan Bahari, adalah pemilik Grup Musim Mas, salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia.
Produk minyak goreng yang diproduksi oleh Grup Musim Mas adalah beberapa merek terkenal, yakni Sanco, Amago, dan Voila.
Kelima, Sukanto Tanoto, seorang konglomerat pemilik grup usaha Royal Golden Eagle International (RGEI) yang dulu dikenal sebagai Raja Garuda Mas. Salah satu produk minyak goreng Grup RGEI tersebut yang cukup terkenal adalah dengan merek Camar.