Ya, ampun! Di tengah banyaknya harga barang yang termasuk kebutuhan pokok lagi naik, ternyata tarif pajak yang dikenakan terhadap konsumen yang berbelanja juga naik.
Pajak dimaksud adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yakni pajak yang dikenakan pada transaksi barang dan jasa yang secara ketentuan perpajakan tergolong barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP).
Berita baiknya, bahan kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, yakni yang tergolong sebagai sembako seperti beras, cabai, jagung, garam, telur ayam, dan buah-buahan, tidak tergolong BKP.
Tapi, bukankah kalau seseorang berbelanja di pasar swalayan, sangat banyak barang kebutuhan sehari-hari yang dibeli, meskipun sebagian tidak tergolong sembako.
Tidak begitu jelas, apakah pada sistem yang ada di kasir pasar swalayan sudah memilah-milah, mana barang yang dibeli seorang konsumen yang dikenakan pajak dan mana yang tidak.
Siapa tahu, biar praktis, semua barang yang dibeli seseorang dikenakan PPN. Apalagi, biasanya di struk belanja tidak dicantumkan PPN, karena dalam harga barang yang dibeli sudah include PPN.
Kalau ingin berbelanja yang sudah pasti tidak terkena PPN, ya di pasar tradisional. Atau, menunggu pedagang sayur keliling lewat di depan rumah.
Hanya saja, berbelanja dengan sistem one stop shopping karena barangnya lengkap dan dalam kondisi yang relatif nyaman, tentu di pasar swalayan.
Lagi pula, apakah ada orang yang sengaja tidak berbelanja karena tak mau kena PPN? Toh, kalau pun banyak yang berbelanja ke pasar tradisional, alasannya bukan karena menghindari PPN, tapi biasanya karena sudah langganan dan bisa tawar menawar harga.
Ya, PPN memang bukan jenis pajak yang biasa diakal-akali. Berbeda dengan Pajak Penghasilan (PPH), di mana suatu perusahaan bisa saja mengakali pada sistem pembukuannya agar labanya terlihat kecil, sehingga PPH-nya juga kecil.
Nah, tentang kenaikan tarif PPN, pemberlakukannya dimulai sejak 1 April 2022. Jika sebelumnya bertarif 10 persen dari harga barang yang dibeli, sekarang menjadi 11 persen.
Sebetulnya, PPN 11 persen tersebut dapat dipahami, hanya momennya yang dirasa kurang pas. Jangan anggap kecil kenaikan dari 10 persen menjadi 11 persen.
Katakanlah ada barang tertentu yang sebelumnya berharga Rp 1 juta. Selama ini terkena PPN 10 persen atau Rp 100.000.Â
Nah, karena situasi ekonomi makro yang tidak kondusif, sekarang barang tersebut mengalami kenaikan harga, misalnya menjadi Rp 1.100.000. Lalu, sudahlah harganya naik, tarif PPN-nya pun naik jadi 11 persen.
Maka, masyarakat seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Apalagi bagi mereka yang terkena PHK, karena perusahaan tempat mereka dulu bekerja mengalami kebangkrutan sebagai dampak pandemi.
Namun, dilihat dari sisi pemerintah, perlu dimaklumi, untuk menjalankan berbagai program yang sudah direncanakan, memerlukan anggaran yang sangat besar.
Hanya ada 2 sumber utama untuk membiayai pengeluaran pemerintah, yakni dari pajak (termasuk bea dan cukai) dan dari utang. Yang namanya utang, tentu harus dibayar (termasuk bunganya), dan itu akhirnya bersandar ke pungutan pajak lagi.Â
Memang ada sumber lain, misalnya dari laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), penerimaan dari Badan Layanan Umum (BLU), dan penerimaan bukan pajak lainnya.
Tapi, jumlah penerimaan bukan pajak tersebut masih relatif kecil dibandingkan penerimaan negara secara keseluruhan.
Jadi, pajak memang hal yang tak terhindarkan, dan kita tak perlu lari atau main akal-akalan agar terbebas dari pajak. Ini bisa dianggap sebagai salah satu cara untuk mendistribusikan pendapatan dari kelompok berpunya ke kelompok berkekurangan.
Bukankah setelah pajak dihimpun oleh pemerintah akan digunakan untuk berbagai program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat?
Lalu, berbagai program bantuan langsung atau tidak langsung, jelas-jelas sasarannya adalah masyarakat kelas bawah, termasuk program subsidi minyak goreng curah, subsidi gas elpiji ukuran 3 kilogram, dan sebagainya.
Jadi, sebaiknya kita ikhlas dalam memenuhi kewajiban pajak, tidak ngedumel. Itulah konsekuensi kita sebagai warga negara yang baik.
Tapi, sangat wajar pula kita berharap agar anggaran pemerintah tidak lagi digerogoti oleh oknum-oknum koruptor. Program bantuan sosial jangan ada lagi yang menyunat dan program subsidi jangan ada lagi yang salah alamat.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H