Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Kisah Anak Babe-Bubun, Papa-Mama, dan Apa-Amak

19 Maret 2022   11:07 Diperbarui: 19 Maret 2022   11:15 1605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nyak dan Babe dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan|dok. RCTI, dimuat tribunnews.com

Ada-ada saja anak saya. Sungguh tak terpikir bagi saya, kalau ia meminta anaknya (yang sekarang masih bayi dan sekaligus membuat saya resmi menyandang gelar kakek) memanggil "babe" kepadanya.

Ya, gak salah juga sih, banyak orang Jakarta yang memanggil "babe" kepada ayahnya. Dan jika anak saya mengaku orang Jakarta, sah-sah saja karena ia lahir, besar, dan sampai sekarang masih tinggal di Jakarta.

Bahwa kedua orang tuanya, lahir di Sumbar, itu soal lain. Anak saya berarti orang Jakarta yang berdarah Minang.

Yang saya masalahkan, anak saya tidak konsisten. Harusnya kalau si ayah dipanggil babe, maka si ibu disebut "nyak", begitulah yang saya ketahui digunakan masyarakat Betawi.

Nah, kesepakatan anak saya dengan istrinya, sang istri dipanggil "bubun" oleh anaknya, yang berasal dari kata bunda.

Setahu saya, istilah bunda sudah menjadi bahasa Indonesia yang dipasangkan dengan "ayah". Tapi, dulu di Sumbar ada sebutan "bundo" untuk ibu, yang sekarang sangat jarang digunakan.

Jadi, menurut logika saya, sebaiknya memilih apakah pakai ayah-bunda atau nyak-babe, bukan babe-bubun.

O ya, istri anak saya ini alias menantu saya, juga anak Jakarta berdarah Jawa-Banten. Ayahnya berasal dari Malang, dan ibunya punya darah Banten. 

Kalau gak salah, dalam bahasa Jawa sebutan untuk ayah ada bermacam-macam, seperti bapak, ayah, pa'e, atau bapa'e.  Sedangkan untuk ibu adalah mbok, ma'e, dan mak.

Untuk bahasa Banten, jujur saya belum tahu. Tapi, dari referensi yang saya temukan, ayah-ibu di Banten disebut mame-mamak.

Ingin tahu apa alasan anak saya pakai Babe-Bubun? Alasannya, agar nanti ketika si bayi sudah besar, akan ngobrol dengan ayahnya seperti ngobrol sama teman. Ia merasa lebih akrab dengan panggilan babe.

Apakah betul panggilan babe terkesan lebih akrab dengan anak, sehingga kayak teman? Saya rasa tidak seperti itu, meskipun anak saya mungkin terkesan dengan temannya yang "bersahabat" dengan ayahnya yang dipanggil "babe".

Soal berteman dengan anak sendiri, menurut saya lebih pada karakter orang tua, bukan soal apa panggilannya. 

Tapi, terlepas dari itu, masyarakat Betawi memang cenderung akrab dalam berkominikasi. Coba saja lihat di film Si Doel, gaya ceplas ceplos si Babe yang diperankan Benyamin saat ngobrol dengan anaknya si Doel (diperankan Rano Karno).

Nah, sebagai orang Minang, saya akan menjelaskan panggilan kepada ayah dalam bahasa Minang, yang pada umumnya adalah "apak", berasal dari kata bapak. Tapi, di beberapa tempat lazim pula kata "abak".

Untuk sebutan ibu, yang paling lazim adalah "amak", mungkin dari kata "emak" dalam bahasa Melayu. Selain itu, di beberapa tempat juga lazim sebutan amai dan biyai.

Namun, sejak tahun 60-an (ini tahun kelahiran saya), rata-rata sudah bergaya modern, sehingga mulai banyak yang menggunakan panggilan papa-mama. Karena orang Minang suka memendekkan kata, papa-mama punya variasi lain, yakni "apa-ama".

Yang lebih modern lagi pakai papi-mami seperti tetangga saya di Payakumbuh yang orang kaya dan terpandang.

Panggilan papa-mama digunakan oleh anak-anak saya terhadap saya dan istri. Hal yang sama juga dilakukan keponakan-keponakan saya pada ayah dan ibunya.

Tapi, belakangan ini, banyak orang Minang yang memanggil ayah-bunda, seperti dilakukan anak-anak dari beberapa keponakan saya.

Kembali ke anak saya, penggunaan panggilan ke orang tua yang tidak matching dengan memasangkan babe dan bubun, sebetulnya mengulang kisah orang tua saya sendiri.

Hanya saya yang menerapkan panggilan yang matching, yakni itu tadi, anak-anak memanggil papa-mama. Karena itulah pasangannya yang pas, seperti papi-mami, ayah-bunda, atau ibu-bapak.

Adapun saya sendiri memanggil "apa" ke ayah saya dan memanggil "amak" ke ibu. Ini jelas-jelas tidak matching. Seharusnya "apa-ama" atau "apak-amak".

Apa pun panggilannya, pesan moral tulisan ini adalah mari kita menjalankan fungsi masing-masing dengan baik. Maksudnya, jadilah orang tua yang baik bagi anak-anak, dan jadilah anak-anak yang baik pada orang tua kita masing-masing.

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun