Jangan sampai setelah mendapat pinjaman, nantinya malah merasa terjebak, dan untuk membayarnya memakai sistem gali lubang tutup lubang. Artinya, melunasi pinjaman ke pinjol sebelumnya dengan cara berutang ke pinjol lainnya.
Jika tujuan meminjam agar bisa membeli barang yang bersifat konsumtif dan hitung-hitungan cicilannya memberatkan, sebaiknya urungkan niat tersebut.
Tapi, jika tujuannya untuk hal yang bersifat produktif, misalnya membeli barang untuk dijual lagi, atau diolah terlebih dahulu untuk nantinya dijual, masih bisa dipertimbangkan untuk menggunakan pinjol yang legal.
Tentu, hitung-hitungannya harus masuk, apakah cicilannya bisa dipenuhi dari wirausaha yang dilakukan si peminjam. Pelaku usaha yang menggunakan pinjol biasanya yang berkategori usaha mikro.
Kalau pelaku usaha sudah kelas menengah, apalagi atas nama perusahaan, biasanya sudah berpengalaman meminjam ke bank dan sudah punya hubungan baik dengan petugas bank yang menanagani kredit.
Memang, hubungan baik antara peminjam dan yang meminjamkan sangat diperlukan, agar bisa dilakukan pendekatan secara personal. Dengan demikian, tingkat kepercayaan antar kedua pihak pun bisa terjaga.
Nah, di sinilah kelemahan pinjol. Karena hanya memberikan pinjaman atas dasar pemenuhan persyaratan administrasi dan format matematis secara sistem dalam menentukan jumlah pinjaman serta besarnya cicilan, pendekatan personal seakan terabaikan.
Padahal, mengenal karakter seseorang akan lebih terdeteksi melalui pendekatan personal. Princip 5C di perbankan (Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition), menempatkan faktor karakter sebagai yang paling penting.
Di lain pihak, kemajuan teknologi informasi yang serba online telah mengurangi interaksi personal antar mereka yang terkait dalam suatu hubungan bisnis atau sekadar transaksi biasa.
Bahkan, bank-bank papan atas pun sekarang juga mempunya aplikasi khusus pinjaman yang memproses pemberian kredit secara online.