Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Dampak Pandemi, Switching Anggaran Perusahaan Tak Terhindarkan

16 Maret 2022   08:20 Diperbarui: 17 Maret 2022   16:21 1448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 2021 lalu, dari awal Januari hingga pertengahan Juli, saya ada sedikit "objekan" di sebuah lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang berkantor di Jalan Veteran, Jakarta Pusat.

Ketika itu para karyawan di sana bekerja dengan menerapkan sistem work from office (WFO) dan work from home (WFH) secara bergantian.

Jika ada seorang karyawan yang terpapar Covid-19, maka semua pekerja pada lantai yang sama tidak boleh masuk kantor selama 3 hari, yang berarti semuanya WFH.

Gedung kantor itu terdiri dari 4 lantai. Pernah suatu kali, ada saja "perwakilan" masing-masing lantai yang terpapar, sehingga kantor tutup selama 3 hari.

Sedangkan untuk si karyawan yang terpapar, setelah hasil lab menyatakan negatif, masih perlu menunggu 2 minggu, baru boleh ikut WFO.

Kalau tidak salah, jumlah karyawan di sana (termasuk pejabatnya) berjumlah sekitar 100 orang, di antaranya ada sekitar 25 orang berstatus pekerja outsource. 

Yang ingin saya ceritakan di sini adalah bagaimana kebijakan yang diambil oleh direksi di LKBB tersebut dalam rangka meminimalkan dampak pandemi Covid-19 terhadap para karyawan dan keluarganya.

Pengendalian tersebut menjadi hal yang penting dan harus mendapat prioritas utama. Tidak saja karena memenuhi ketentuan dari pemerintah, tapi juga berkaitan dengan kinerja perusahaan.

Logikanya, jika karyawan semuanya sehat, pekerjaan juga akan terlaksana dengan baik, sehingga target perusahaan bisa dicapai. Sebaliknya, jika banyak karyawan yang tidak sehat, pasti akan mengganggu kinerja perusahaan.

Nah, dalam rangka pengendalian pandemi itu, pihak manajemen perusahaan mau tak mau mengeluarkan sejumlah biaya yang bisa jadi termasuk kategori "biaya tidak terduga".

Masalahnya, pos untuk biaya tak terduga biasanya relatif kecil. Nah, dalam hal ini, tak terhindarkan melakukan switching anggaran. Maksudnya, dana yang sudah dianggarkan untuk suatu kegiatan, dialihkan ke biaya pengendalian pandemi.

Apalagi, karena adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), kegiatan tertentu dilakukan secara online, seperti pelatihan, kunjungan kerja, dan sebagainya. Maka, kegiatan inilah yang di-switch.

Apa saja biaya yang dikeluarkan di LKBB di atas? Sepanjang yang saya ketahui, biaya tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 hal berikut.

Pertama, pembelian paket vitamin untuk semua karyawan. Adapun vitamin tersebut terdiri dari vitamin B, C, D, E, dan Zinc. 

Sebagian besar karyawan rajin minum vitamin tersebut, yang masing-masing diminum sekali sehari. Karena ada 5 jenis, tentu jarak minum vitamin yang satu dengan yang lainnya sekitar 5 jam.

Tapi, ada juga beberapa karyawan yang saya lihat vitaminnya masih utuh di meja kerjanya. Ternyata ia punya pendapat sendiri, bahwa vitamim terbaik berasal dari sayuran, buah-buahan, dan berjemur.

Vitamin dalam bentuk pil malah dikhawatirkannya akan berdampak negatif terhadap ginjal. Saya agak terpengaruh dengan pendapat ini dan tidak lagi rutin minum vitamin dalam bentuk pil atau kapsul.

Kedua, setiap hari Senin ada pemeriksaan antigen, belakangan menjadi setiap Senin dan Kamis, karena mulai Mei 2021 terjadi lonjakan kasus di Jakarta.

Dalam hal ini, LKBB tersebut bekerja sama dengan sebuah lab yang mengirimkan 3 orang petugasnya untuk memeriksa semua karyawan.

Ketiga, pengeluaran yang juga harus dilakukan adalah penyediaan hand sanitizer di banyak tempat, penyemprotan disinfektan di semua ruangan, dan alat pengukur suhu tubuh.

Mungkin ada lagi biaya lain yang luput dari pantauan saya. Tapi, taksiran saya, LKBB itu lumayan banyak mengeluarkan biaya pengendalian pandemi. Bagi saya, pihak manajemen LKBB itu sudah tepat dalam mengambil keputusan.

Memang, dalam masa penuh ketidakpastian atau terjadi kondisi darurat, anggaran perusahaan yang selama ini menjadi pedoman baku, bisa diubah.

Perlu diketahui, proses penyusunan anggaran untuk tahun berikut, sudah dimulai sejak Agustus tahun ini. Nanti, pada bulan Desember sudah harus disetujui, kemudian di-breakdown dan dikirim ke seluruh unit kerja.

Pada masa normal, anggaran seperti "harga mati". Untuk pendapatan, merupakan jumlah minimal yang harus didapat dan untuk biaya, merupakan jumlah maksimal yang bisa dikeluarkan dalam satu tahun.

Anggaran yang baik selalu memberi ruang yang bersifat fleksibel, di mana biasanya pada bulan Juni, diperkenankan membuat revisi anggaran bila asumsi yang dipakai sebelumnya tidak bisa dipertahankan.

Setelah bulan Juni, tak ada lagi revisi anggaran. Artinya, target tahunan yang tercantum pada anggaran versi revisi menjadi acuan bagi semua unit kerja.

Bahkan, anggaran per unit kerja tersebut akan dipecah lagi menjadi target individu masing-masing karyawan. Pencapaian target individu ini nantinya berdampak pada besar kecilnya bonus tahunan masing-masing karyawan.

Kembali ke kondisi di masa pandemi, switching anggaran yang signifikan diperkirakan terjadi pada tahun 2020, karena saat anggaran disusun pada akhir 2019 asumsi yang dipakai belum memasukkan biaya pengendalian pandemi.

Dok. koinworks.com
Dok. koinworks.com
.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun