Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Nasib Truk Odol, Maju Kena Mundur Kena

3 Maret 2022   10:26 Diperbarui: 3 Maret 2022   11:55 1201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Truk penuh muatan parkir di Pelabuhan Pangkalbalam, Pangkalpinang, Babel, Senin (22/6/2020).(KOMPAS.com/HERU DAHNUR)

Berbagai aplikasi yang bisa diunduh ke gawai kita telah mengubah gaya hidup masyarakat, terutama anak muda dan remaja. Mereka cukup rebahan saja, lalu apa kebutuhannya bisa tesedia dalam waktu relatif cepat.

Makanya, istilah kaum rebahan disematkan pada mereka yang sering melakukan aktivitas sehari-hari, seperti bekerja, belajar, bermain, berkomunikasi dengan orang lain, serta berbelanja dan bertransaksi, cukup sambil rebahan.

Nah, untuk berbelanja secara online, tentu peran pihak ekspedisi atau pengantar barang, cukup vital. Konsumen tidak usah khawatir, karena perjalanan barang dari lokasi penjual ke rumah pembeli, bisa dilacak melalui gawai.

Jangan heran kalau sekarang di berbagai restoran, yang antri bukan pelanggan, tapi para pengantar barang. Apalagi, sejak pandemi melanda negara kita, akan lebih aman bila memesan makanan dari rumah saja.

Jadi, boleh dikatakan bahwa saat ini merupakan masa yang baik bagi para pengantar barang. Seperti pengemudi ojek online (ojol), sepinya mengantar penumpang, terkompensasi dengan ramainya mengantar barang.

Tapi, semua itu adalah pelayanan bagi konsumen yang membeli secara eceran, dalam arti barang yang dibeli untuk dikonsumsi sendiri atau bersama keluarga.

Ceritanya jadi berbeda bila kita mengupas pengantaran barang dalam jumlah besar yang dipesan oleh para pedagang grosir untuk dijual lagi nantinya ke pedagang eceran, lalu baru dari pedagang eceran dijual ke konsumen.

Topik yang lagi hangat sekarang adalah terkait dengan penggunaan truk odol (over dimension-over load) untuk membawa barang dalam jumlah besar.

Kalau kita melihat di jalan raya ada truk yang bak tempat barangnya panjang sekali, sekitar dua kali panjang truk yang berukuran normal, ya itulah yang disebut truk odol.

Bisa jadi kita kesal kalau bertemu truk odol pada jalan yang searah dengan perjalanan kita. Soalnya, mau menyalib truk odol di jalan raya dengan lebar terbatas, tidak gampang.

Padahal, kalau tidak berhasil menyalib truk odol, kecepatan kendaraan harus kita kurangi mengikuti kecepatan truk odol. Lalu, kemacetan pun tak terelakkan bila di belakang kita juga sudah banyak iring-iringan kendaraan.

Tapi, coba kita tinggalkan sejenak kekesalan kita bila di depan ada truk odol yang menghambat kelancaran lajunya perjalanan kita.

Pernahkah kita berpikir, kenapa ada truk odol? Ternyata, permasalahan yang melilit keberadaan truk tersebut demikian banyak, sehingga nasibnya ibarat maju kena mundur kena.

Paling tidak, yang terkait langsung dengan truk odol adalah pihak pemilik barang, pemilik armada truk atau pengusaha angkutan barang, dan pihak pengemudi truk.

Lalu, yang secara tidak langsung terkait lebih banyak lagi. Pemerintah sendiri jika dilihat dari berbagai kementerian yang ada, kepentingan setiap kementerian bisa berbeda-beda.

Kementerian yang mengurus perdagangan lebih menekankan soal kelancaran arus barang. Tapi, kementerian yang mengurus perhubungan lebih fokus pada keselamatan di jalan raya.

Ada lagi kementerian yang menangani pekerjaan umum yang bisa jadi lebih memperhatikan dampak kerusakan jalan akibat truk odol.

Masyarakat yang terdampak tidak hanya pengendara yang terhambat perjalanannya karena ada truk odol. Tapi, barang-barang yang dibawa truk tersebut nantinya akan digunakan masyarakat sebagai konsumen.

Sebagai konsumen, pasti kita ingin barang yang berkualitas tapi dengan harga terjangkau. Nah, di sinilah masalahnya. Murah, tapi bermutu itu tidak gampang menemukannya.

Artinya, faktor harga menjadi salah satu penentu dalam mengambil keputusan, apakah seseorang akan membeli atau tidak.

Hal itu sangat disadari oleh pihak yang terkait langsung dengan truk odol itu tadi. Dengan truk odol, karena daya muatnya berlipat, ongkos angkut barang per satuan (umpamanya per kilogram, per buah, per liter, dan sebagainya) jatuhnya lebih murah.

Kompas.com (22/02/2022) memuat pernyataan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia), Djoko Setijowarno, terkait akar masalah truk odol.

Djoko menilai tarif angkut barang yang semakin rendah menjadi akar masalah. Di tengah biaya produksi barang yang meningkat, pemilik barang tidak mau keuntungan yang selama ini didapat jadi berkurang.

Ilustrasi truk ODOL | dok. Kompas.com/Stanly Ravel
Ilustrasi truk ODOL | dok. Kompas.com/Stanly Ravel

Pemilik armada atau pengusaha angkutan barang juga tak mau keuntungannya berkurang. Hal yang sama terjadi pula pada pengemudi truk yang tak mau berkurang pendapatannya.

Pada akhirnya, yang berhadapan langsung dengan kondisi di lapangan adalah pengemudi truk. Maka, pengemudi mau tak mau menutupi biaya tak terduga, seperti pungutan liar, biaya parkir, ban pecah, dan sebagainya.

Semakin besar biaya tak terduga, akan semakin kecil uang yang dibawa pulang pengemudi truk odol untuk keperluan rumah tangganya.

Dalam hal pemerintah membuat kebijakan pelarangan truk odol di kawasan tertentu, sebaiknya perwakilan pemilik barang, pemilik armada, dan pengemudi diajak bermusyawarah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun