Tahu tempe sering dikontraskan dengan daging. Yang satu mewakili makanan rakyat banyak, yang satu lagi adalah konsumsi warga kelas menengah ke atas.
Tapi, nasib pedagang tahu tempe dan pedagang daging sapi di pasar-pasar tradisional akhir-akhir ini kurang lebih sama. Sama-sama mengahadapi kelangkaan pasokan dan pedagang terpaksa membeli dari pemasok dengan harga lebih tinggi dari biasanya.
Tentu, akibatnya pedagang akan menaikkan harga jual kepada pelanggannya. Khawatir para pelanggannya tidak kuat membeli dengan harga baru, maka aksi mogok menjadi pilihan.
Awalnya produsen tahu tempe yang mogok karena memprotes naiknya harga kedelai yang menjadi bahan baku tahu tempe. Karena itulah, tahu tempe langka di pasar.
Ternyata, cara seperti itu menginspirasi pedagang daging sapi, sehingga sekarang giliran mereka yang melakukan aksi mogok berjualan.
Berita mogok ini agak simpang siur, karena awalnya dalam siaran berita TVRI pagi Senin (28/2/2022) disebutkan mogok selama 5 hari mulai Senin tersebut.
Namun, kemudian media daring serta juga TVRI pada berita siangnya memberitakan batal mogok karena pelanggan bersedia membeli dengan harga yang sudah dinaikkan.
Pada berita siang tersebut, TVRI meliput dari Pasar Palmerah, Jakarta. Ternyata, pedagang batal mogok karena dengan harga Rp 140.000 per kilogram masih dibeli konsumen, sebelumnya seharga Rp 120.000 per kilogram.
Menurut pedagang yang tetap berjualan, yang penting masyarakat sudah tahu bahwa kenaikan harga bukan akal-akalan pedagang, tapi karena dari hulunya memang naik.
Hanya saja, tampaknya sesama pedagang tidak kompak. Kompas.id (28/2/2022), memberitakan yang juga disertai foto bahwa di Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, aksi mogok tetap dilakukan pedagang daging.
Bahkan, 2 hari setelah itu (Rabu, 2/3/2022) TV One memberitakan di Pasar Grogol para pedagang daging masih mogok. Bisa jadi mereka mogok selama seminggu seperti rencana semula.
Kemudian, dari Kompas.id (2/3/2022), yang memantau beberapa pasar pada Selasa (1/3/2022), ditemukan bahwa los daging di Pasar Slipi, Pasar Tomang Barat, dan Pasar Kopro, sepi.
Pedagang memilih tidak berjualan karena harga daging terus merangkak naik dan kini sudah menyentuh Rp 150.000 per kilogram.
Tapi, seorang pedagang yang diwawancarai reporter televisi menyatakan bahwa jika pada rapat Rabu malam menghasilkan kesepakatan mengakhiri mogok, maka pada Kamis (3/3/2022) aktivitas pedagang daging kembali normal.
Para pedagang berharap serta menanti intervensi pemerintah untuk mengendalikan harga daging sapi. Namun, karena hal ini terkait dengan harga di tingkat global, akan menjadi PR besar bagi pemerintah, intervensi seperti apa yang akan diambil.
Sekiranya harga daging disubsidi, karena daging terlanjur dipersepsikan sebagai makanan bagi kelas menengah ke atas, mungkin jadi kurang tepat.
Lagi pula, kemampuan anggaran pemerintah sudah sangat terbatas, karena sebagian besar dipakai untuk penanganan pengendalian pandemi Covid-19.
Ya, akan terasa salah alamat bila yang disubsidi adalah pembelian bagi individu atau rumah tangga. Seperti yang disinggung di atas, sebagian konsumen masih menolerir kenaikan harga.
Tapi, dugaan hanya kelompok menengah ke atas yang terpengaruh dengan aksi mogok pedagang daging, tidak sepenuhnya tepat.
Bayangkan, bagaimana nasib penjual bakso, soto, sop, atau makanan lainnya yang membutuhkan daging untuk diolah dan dijual lagi kepada pelanggannya yang kebanyakan masyarakat kelas bawah?
Jelas, kenaikan harga daging akan berpengaruh pada harga jual semangkok bakso, semangkok soto daging, atau sepiring sop.Â
Dan yang makan bakso tak sedikit mereka yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima, tukang parkir, pekerja pabrik, dan profesi lain yang penghasilannya pas-pasan.
Kalau begitu, masihkah kita mempertentangkan tahu tempe dan daging? Seolah-olah konsumen daging pasti semuanya orang berpunya dan tidak mempermasalahkan kenaikan harga.
Okelah, kalau subsidi dirasa salah alamat, intervensi pemerintah yang lebih memungkinkan adalah menertibkan tata niaganya, atau melalui BUMN/BUMD yang bergerak di bidang pangan, bisa mengamankan stok daging.
BUMN/BUMD tersebut bisa mencari langkah terobosan dengan mengimpor daging dari negara yang selama ini belum atau jarang bertransaksi dengan Indonesia.
Perlu diketahui, selama ini Indonesia terlalu bergantung pada Australia dalam menutupi kebutuhan daging sapi. Akibatnya, seperti sekarang ini, harga di Australia naik, Indonesia kelabakan.
Kita tunggu saja, semoga pemerintah sudah punya solusi yang jitu dan pedagang daging sapi di pasar tradisional segera mengakhiri aksi mogok berjualan.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H