Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Biarlah Putus Cinta Ketimbang Putus Makan Tahu Tempe

23 Februari 2022   08:03 Diperbarui: 23 Februari 2022   08:05 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jujur, dari dalam hati saya sangat bersimpati dengan aksi mogok para perajin tahu tempe selama 3 hari terhitung sejak 21 Februari 2022. Dengan mogok berproduksi, mudah-mudahan pemerintah bisa segera merespon tuntutan perajin tahu tempe.

Apa saja tuntutan mereka? Sebetulnya ini lagu lama yang selalu terulang, yakni mengharapkan agar harga kedelai sebagai bahan baku tahu tempe bisa stabil.

Maksud stabil di atas adalah dengan menurunkan kembali ke harga sekitar Rp 9.000 per kilogram, padahal sekarang harganya melambung ke kisaran Rp 11.000-12.000.

Akibatnya, produsen tahu tempe kesulitan dalam menjual produksinya. Menaikkan harga jual atau memperkecil ukuran tahu tempe berpotensi menyebabkan konsumen enggan membeli.

Tapi, setelah saya pikir-pikir, mendukung aksi mogok juga ada dampak negatifnya kepada saya sekeluarga. Pada Senin siang (21/2/2022) istri saya ke pasar tradisional dekat rumah, mendapati bahwa tahu tempe betul-betul tidak ada. 

Artinya, produsen tahu tempe, paling tidak di Jabodetabek, memang kompak. Tadinya, saya pikir tahu tempe hanya sekadar langka, barangnya ada tapi dengan stock menipis dan harga lebih mahal.

Saya terpana ketika istri saya melapor bahwa tahu tempe kosong di pasar. Sekali lagi, tahu tempe kosong, bukan tahu tempe langka.

Istri saya sangat tahu betapa tingginya kegemaran saya makan tahu tempe. Kehilangan tahu tempe membuat saya merasa kurang "nendang" saat makan.  

Tidak terlalu masalah bagi saya misalnya di meja makan tidak ada goreng ayam, rendang, atau aneka makanan berbahan daging lainnya. Asal tahu tempe masih ada.

Makanya,  dua makanan ini hampir selalu ada (bisa dua-duanya sekaligus atau salah satu) di rumah saya dengan berbagai variasi olahan.

Sebagai seorang "tahu tempe mania", saya tidak hanya menjadikan tahu tempe sebagai lauk saat makan nasi, tapi juga sebagai kudapan di sela-sela jam makan utama.

Ibarat kata, lebih baik putus cinta ketimbang putus makan tahu tempe. Soalnya, putus cinta bisa lagi cari yang baru, sedangkan putus tahu tempe sejauh ini belum saya temukan alternatif pengganti yang sama enaknya, murah dan sehat.

Ternyata, tahu tempe yang identik dengan makanan rakyat kecil itu mengandung problem yang tidak sederhana. Intinya, Indonesia masih tergantung pada kedelai impor, yang terutama didatangkan dari Amerika Serikat (AS).

Sungguh ironis, Indonesia sebagai bangsa tempe (penggemar makan tempe, bukan bermental tempe), belum mampu menyediakan kedelai sesuai kebutuhan.

Rendahnya produksi kedelai dalam negeri antara lain karena luas lahan panen yang semakin menyusut. Petani kurang tertarik melakukan budi daya kedelai karena keuntungannya tidak sebesar menanam padi dan jagung.

Memang, kalau berbicara masalah lahan pertanian, secara umum terjadi penciutan terus menerus karena desakan konversi lahan untuk berbagai jenis bangunan, tidak terhindarkan lagi.

Tapi, selain soal kuantitas, kualitas kedelai dalam negeri pun kalah dari kedelai impor. Ini tantangan besar bagi terciptanya varietas baru kedelai yang lebih bermutu.

Satu kilogram kedelai impor dapat mengembang menjadi 1,6-1,8 kilogram ketika dimasak, sementara kedelai lokal hanya 1,4-1,5 kilogram (katadata.co.id).

Jadi, mencari solusi untuk swasembada kedelai membutuhkan usaha berlipat ganda dari berbagai pihak dengan dimotori oleh pemerintah. Memperluas lahan, memperbaiki mutu, dan memperpaiki tata niaga harus dilakukan secara simultan.

Jika kondisi seperti sekarang berlanjut, di mana sebagian besar kebutuhan kedelai didatangkan dari luar negeri, jelas sangat riskan. Soalnya, berbagai isu global akan berpengaruh pada harga kedelai, karena semuanya akan berdampak pada kurs . 

Lagi pula, pihak yang mengimpor kedelai di Indonesia adalah perusahaan swasta, yang motifnya sangat jelas untuk mencari keuntungan.

Sekiranya stok kedele dikuasai oleh pemerintah atau BUMN yang ditugaskan khusus untuk menstabilkan harga pangan, diharapkan kondisinya akan lebih baik.

Masalahnya, anggaran pemerintah tidak tersedia untuk menguasai stok kedelai. Apalagi, sejak dua tahun terakhir ini anggaran pemerintah sebagian besar tersedot untuk penanggulangan pandemi Covid-19.

Maka, sangat tidak gampang mencari solusi yang cespleng. Bagaimanapun juga, kenaikan harga kedelai impor (untuk kesekian kalinya ini), harus dijadikan momentum untuk mengembangkan kedelai lokal.

Bagi saya pribadi, sangat berharap aksi mogok perajin tahu tempe bisa diakhiri lebih cepat. Harga naik sedikit tidak masalah sepanjang tahu tempe tersedia lagi di pasar. 

Tapi, saya sangat menyadari, sebagian masyarakat akan menjerit dengan kenaikan harga. Bukankah selain tahu tempe, harga minyak goreng, telur ayam, bawang merah, cabai merah, gula, dan berbagai kebutuhan dapur lainnya, sudah duluan naik.

Citra tahu tempe sebagai makanan enak, murah dan sehat, jangan sampai tamat riwayatnya karena harganya sudah mahal.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun