Bank syariah di negara kita sudah semakin berkembang. Jika dilihat dari keragaman produk perbankan yang ditawarkan berbagai bank syariah yang ada, sudah relatif sama dengan bank-bank konvensional.
Demikian pula dari sisi mutu pelayanan yang semakin baik serta teknologi yang digunakan, bank syariah tidak tertinggal dibanding bank konvensional skala nasional papan atas.
Hanya saja, jika melihat potensinya yang demikian besar mengingat Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, seharusnya perkembangan bank syariah jauh lebih pesat lagi.
Pangsa pasar bank-bank syariah yang sekarang eksis masih di kisaran 6 hingga 7 persen dari total aset semua bank secara nasional.
Dilihat dari sisi bank secara individual, maka bank syariah terbesar saat ini adalah Bank Syariah Indonesia (BSI) yang merupakan hasil penggabungan 3 bank syariah milik bank BUMN, yakni Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah, dan BNI Syariah.
Maka, dengan penggabungan tersebut, BSI langsung bercokol pada peringkat ke-7 Â dilihat dari total aset di antara semua bank di negara kita.
Posisi BSI terebut di bawah Bank Mandiri, BRI, BCA, BNI, BTN dan CIMB Niaga, dengan jumlah aset per akhir 2021 lalu tercatat sebesar Rp 265 triliun.
Kejayaan BSI bisa dikatakan berbanding terbalik dengan perjalanan Bank Muamalat yang nota bene adalah bank syariah pertama di negara kita.
Bank Muamalat didirikan pada 1 November 1991 dan mulai beroperasi sejak 1992. Bank ini lahir atas prakarsa banyak pihak, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan pemerintah.
Awalnya publik cukup antusias dengan kehadiran Bank Muamalat. Tak berlebihan kalau bank ini diperkirakan mampu meniru kesuksesan bank-bank syariah di luar negeri, paling tidak sejajar dengan yang di negara tetangga, Malaysia.
Harapan tersebut sebetulnya telah terwujud pada belasan tahun pertama beroperasinya Bank Muamalat. Betapa tidak, saat krisis moneter 1998 membangkrutkan banyak bank di negara kita, Bank Muamalat malah tidak goyang sama sekali.
Jika bank-bank lain banyak yang dilikuidasi, ada pula yang diselamatkan pemerintah dengan menyuntikkan dana dalam bentuk obligasi rekapitalisasi, Bank Muamalat tetap eksis tanpa bantuan uang negara sepeser pun.
Hal itu tentu ada kaitannya dengan prinsip syariah yang diterapkannya dengan pola bagi hasil serta tidak terlibat dengan produk yang bersifat spekulasi.
Adapun bank-bank papan atas justru bertumbangan ditengarai karena aksi spekulasi tersebut, terutama yang dikaitkan dengan kurs mata uang rupiah yang anjlok tajam terhadap sejumlah mata uang asing, terutama dolar Amerika Serikat (US dollar).
Namun demikian, meskipun tidak mendapat bantuan obligasi rekap dari pemerintah, sebetulnya krisis moneter juga menggerus modal bank syariah sehingga tersisa sepertiganya.
Untung saja, Bank Muamalat selamat setelah Islamic Development Bank (IDB) menyuntikkan dana segar (cnnindonesia.com, 2/3/2018).
Sayangnya, justru di masa normal, dalam arti setelah melewati krisis moneter, Bank Muamalat mengalami penurunan kinerja.Â
Hal ini terasa sekali sejak 2014 ketika rasio kredit macet (istilah "kredit" pada bank syariah disebut dengan "pembiayaan") sudah di atas 5 persen yang menjadi ambang batas aman menurut indikator kesehatan bank.
Bagi bank yang sehat, modalnya akan bertambah dari akumulasi perolehan laba (setelah dikurangi dividen sebagai pembagian laba bagi pemegang saham).
Sebaliknya, bagi bank yang "sakit", justru modalnya yang tergerus akibat kerugian yang diderita. Agar tetap kokoh, bank yang sakit itu perlu suntikan modal baru.
Bank Muamalat sendiri, hingga posisi pertengahan 2021, pemegang sahamnya yang dominan berasal dari pihak asing, yakni IDB yang porsi kepemilikan sahamnya paling besar (32,74 persen).
Setelah itu tercatat kepemilikan Bank Boubyan yang berasal dari Kuwait (22 persen), Atwil Holdings Limited (17,91 persen), National Bank of Kuwait (8,45 persen), IDF Investment Foundation (3,48 persen) dan BMF Holdings Limited (2,84 persen).
Tidak terlalu jelas bagaimana proses negosiasinya, kemudian terjadilah hal yang di luar dugaan, di mana akhirnya Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menjadi pemegang saham pengendali Bank Muamalat.
BPKH merupakan lembaga khusus yang didirikan pada 2017 dengan tugas menampung semua setoran dana dari calon jemaah haji untuk dikelola sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang sehat.
Menurut berita pada republika.co.id (19/11/2021), semua pemegang saham asing di atas (kecuali IDB) mengalihkan seluruh sahamnya pada BPKH. IDB juga mengalihkan sahamnya pada BPKH, tapi masih menyisakan 10 persen kepemilikan.
Di satu sisi, masuknya BPKH sebagai pemegang saham pengendali karena dapat hibah, seperti mendapat "durian runtuh". Apalagi, hal itu terlaksana tanpa heboh-heboh di media massa.
Kenapa pihak IDB dan Kuwait mau memberikan hibah, tentu ada alasan di balik itu. Sejauh ini, yang terungkap di media, seperti diberitakan republika.co.id di atas, adalah semata-mata karena percaya bahwa BPKH punya komitmen dan kemampuan.Â
Di sisi lain, meskipun berjudul "hibah", tetap punya konsekuensi yang tidak ringan. BPKH perlu menunjukkan kemampuan profesionalnya agar Bank Muamalat selamat dan bahkan berkembang.
Bagi Bank Muamalat sendiri, jelas dengan kendali di bawah BPKH merupakan berkah tersendiri. Soalnya, dengan dana jemaah haji yang secara akumulasi sangat besar, dana tersebut selama ini menjadi rebutan antar bank syariah.
Sekarang, sangat mungkin BPKH akan mengutamakan penempatan dana di Bank Muamalat ketimbang bank syariah lainnya.Â
Dengan demikian, pada sisi pasiva Neraca Bank Muamalat, terdapat dua pos dana BPKH, yanki pos modal dan pos dana pihak ketiga.
Nah, bagi jemaah haji, apakah perlu gusar? Sebetulnya, jemaah secara individu hanya berharap agar bisa berangkat haji dan mendapatkan semua fasilitas yang sudah diatur sebelumnya.
Namun demikian, tentu kegusaran akan muncul bila nantinya setelah berjalannya waktu, ternyata kinerja Bank Muamalat tetap tidak membaik, sehingga dana BPKH di bank tersebut bisa "terbenam".
Tapi, mari kita beri kesempatan BPKH untuk bekerja sebaik mungkin dan semoga yang dikhawatirkan di atas tidak terjadi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H