Jika bank-bank lain banyak yang dilikuidasi, ada pula yang diselamatkan pemerintah dengan menyuntikkan dana dalam bentuk obligasi rekapitalisasi, Bank Muamalat tetap eksis tanpa bantuan uang negara sepeser pun.
Hal itu tentu ada kaitannya dengan prinsip syariah yang diterapkannya dengan pola bagi hasil serta tidak terlibat dengan produk yang bersifat spekulasi.
Adapun bank-bank papan atas justru bertumbangan ditengarai karena aksi spekulasi tersebut, terutama yang dikaitkan dengan kurs mata uang rupiah yang anjlok tajam terhadap sejumlah mata uang asing, terutama dolar Amerika Serikat (US dollar).
Namun demikian, meskipun tidak mendapat bantuan obligasi rekap dari pemerintah, sebetulnya krisis moneter juga menggerus modal bank syariah sehingga tersisa sepertiganya.
Untung saja, Bank Muamalat selamat setelah Islamic Development Bank (IDB) menyuntikkan dana segar (cnnindonesia.com, 2/3/2018).
Sayangnya, justru di masa normal, dalam arti setelah melewati krisis moneter, Bank Muamalat mengalami penurunan kinerja.Â
Hal ini terasa sekali sejak 2014 ketika rasio kredit macet (istilah "kredit" pada bank syariah disebut dengan "pembiayaan") sudah di atas 5 persen yang menjadi ambang batas aman menurut indikator kesehatan bank.
Bagi bank yang sehat, modalnya akan bertambah dari akumulasi perolehan laba (setelah dikurangi dividen sebagai pembagian laba bagi pemegang saham).
Sebaliknya, bagi bank yang "sakit", justru modalnya yang tergerus akibat kerugian yang diderita. Agar tetap kokoh, bank yang sakit itu perlu suntikan modal baru.
Bank Muamalat sendiri, hingga posisi pertengahan 2021, pemegang sahamnya yang dominan berasal dari pihak asing, yakni IDB yang porsi kepemilikan sahamnya paling besar (32,74 persen).
Setelah itu tercatat kepemilikan Bank Boubyan yang berasal dari Kuwait (22 persen), Atwil Holdings Limited (17,91 persen), National Bank of Kuwait (8,45 persen), IDF Investment Foundation (3,48 persen) dan BMF Holdings Limited (2,84 persen).