Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Hati-hati, Tanpa Disadari Terjadi Hubungan Toksik Nenek dan Cucu

14 Februari 2022   10:28 Diperbarui: 14 Februari 2022   10:45 2465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya awali tulisan ini dengan ucapan selamat merayakan Hari Kasih Sayang bagi yang menganggap hari ini, 14 Februari  2022, sebagai hari spesial. Ya, hari ini adalah Hari Valentine.

Tapi, saya ingin memberikan spektrum yang berbeda, bahwa kasih sayang itu berdimensi banyak. Terlalu sempit bila hanya tentang sepasang  kekasih yang lagi kasmaran saja.

Saya mengamati, di antara sekian banyak jenis kasih sayang, yang paling tulus itu justu antara nenek dan cucunya, dan itulah yang diangkat melalui tulisan ini.

Kebetulan, sejak 3 Januari 2022 lalu, saya resmi menjadi seorang kakek. Tentu, istri saya pun sudah sah menyandang predikat nenek.

Seorang putra saya yang menikah dengan gadis pilihannya pada akhir Januari 2021 dalam acara berformat minimalis karena pandemi, alhamdulillah telah mempunyai seorang bayi perempuan.

Sering saya mendengar ucapan bahwa kakek nenek lebih lengket dengan cucunya ketimbang sang cucu dengan ayah bundanya.

Saya belum bisa membuktikan kebenarannya secara langsung karena cucu saya baru berusia 1 bulan. Saya tentu saja menyayangi cucu, tapi ikatan batin belum tercipta karena masih takut menggendongnya berlama-lama.

Jika kasih sayang kakek ke cucu dibandingkan dengan kasih sayang nenek ke cucu, saya mengakui nenek lebih unggul. 

Hal ini terlihat dari tingkah istri saya yang tak puas-puasnya menggendong si cucu dengan sorot mata yang berbinar-binar.

Tapi, saya berharap agar nantinya hubungan istri saya ke cucunya tidak berkembang menjadi hubungan toksik.

Lho, gak salah nih, memang ada hubungan toksik antara nenek ke cucunya? Sebetulnya saya tidak begitu yakin apakah istilah ini tepat atau tidak. Kalau tidak tepat, saya mohon maaf.

Memang, saya agak sedikit memaksakan apa yang saya tulis pada bagian berikut ini dengan hubungan toksik agar mampu merespon topik pilihan di Kompasiana.

Begini, ada dua orang nenek yang menceritakan bagaimana kedekatannya dengan cucunya. Meskipun saya mendapatkan cerita pada kesempatan yang terpisah, cerita keduanya nyaris sama.

Saya mulai dengan nenek pertama, yang nota bene adalah uni (kakak perempuan) saya sendiri. Sehari-hari si Uni tinggal di Dumai, Riau, tapi dua bulan terakhir ini lagi di Jakarta di rumah salah seorang anak lelakinya.

Suatu kali, saya mengajak Uni menginap di rumah saya. Namun, tidak gampang memboyong si Uni dari rumah anaknya.

Soalnya, sewaktu melepas neneknya, si cucu terlihat sangat sedih. Akhirnya, setelah dijanjikan bahwa nenek hanya menginap satu malam saja, baru dibolehkan sang cucu.

Maka meluncurlah beberapa cerita bagaimana Uni sangat lengket dengan sang cucu. Nah, yang saya duga sebagai toksik karena si nenek diam-diam mengizinkan si cucu makan permen yang sebetulnya "diharamkan" ibundanya. 

Tentu si cucu makan permen di kamar nenek secara ngumpet-ngumpet. Jika ketahuan oleh bunda, anaknya akan diomeli dan langsung disuruh gosok gigi.

Padahal, si anak juga dapat ajaran lain dari neneknya. Jika tadinya sudah gosok gigi, lalu makan permen, cukup ditutup dengan kumur-kumur saja.

Adapun cerita nenek kedua adalah kisah kakak sepupu saya, yang mirip dengan cerita di atas. Tapi, nenek kedua membolehkan si cucu tidak saja makan permen, namun juga makan mi instan. 

Cerita kedua ini lebih "serem" karena pernah saat ketahuan oleh si bunda, terjadi gesekan antara nenek dan menantu. 

Kemudian, si anak pun jadi seperti tertekan. Ketika makan permen si anak terpaksa menikmati dengan wajah penuh kecemasan, takut ketahuan bundanya.

Saya yakin maksud ibu-ibu melarang anaknya makan permen dan mi instan, tentu demi kesehatan dan tumbuh kembang si anak tercinta.

Namun, kecintaan nenek-nenek pada cucunya, berujung pada ketidaktegaan melihat cucu tercinta memendam keinginan makan permen atau mi instan. Masak begitu saja tidak boleh?

Nah, posisi saya di mana? Pro nenek atau pro bunda? Saya sendiri bingung. Saya pikir-pikir lagi, jangan-jangan yang betul adalah cara nenek ke cucu, sehingga yang toksik adalah cara ibu ke anaknya. 

Bahkan, ada tiga hubungan yang kemungkinan toksik, yakni nenek-cucu, ibu-anak, dan nenek-menantu perempuan. Karena saya terlanjur bingung, saya sudahi saja tulisan ini sampai di sini, tanpa kesimpulan. 

Jika ada pembaca yang berpendapat bahwa yang toksik adalah ibu yang terlalu ketat mendisiplinkan anaknya, boleh-boleh saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun