Memang, saya agak sedikit memaksakan apa yang saya tulis pada bagian berikut ini dengan hubungan toksik agar mampu merespon topik pilihan di Kompasiana.
Begini, ada dua orang nenek yang menceritakan bagaimana kedekatannya dengan cucunya. Meskipun saya mendapatkan cerita pada kesempatan yang terpisah, cerita keduanya nyaris sama.
Saya mulai dengan nenek pertama, yang nota bene adalah uni (kakak perempuan) saya sendiri. Sehari-hari si Uni tinggal di Dumai, Riau, tapi dua bulan terakhir ini lagi di Jakarta di rumah salah seorang anak lelakinya.
Suatu kali, saya mengajak Uni menginap di rumah saya. Namun, tidak gampang memboyong si Uni dari rumah anaknya.
Soalnya, sewaktu melepas neneknya, si cucu terlihat sangat sedih. Akhirnya, setelah dijanjikan bahwa nenek hanya menginap satu malam saja, baru dibolehkan sang cucu.
Maka meluncurlah beberapa cerita bagaimana Uni sangat lengket dengan sang cucu. Nah, yang saya duga sebagai toksik karena si nenek diam-diam mengizinkan si cucu makan permen yang sebetulnya "diharamkan" ibundanya.Â
Tentu si cucu makan permen di kamar nenek secara ngumpet-ngumpet. Jika ketahuan oleh bunda, anaknya akan diomeli dan langsung disuruh gosok gigi.
Padahal, si anak juga dapat ajaran lain dari neneknya. Jika tadinya sudah gosok gigi, lalu makan permen, cukup ditutup dengan kumur-kumur saja.
Adapun cerita nenek kedua adalah kisah kakak sepupu saya, yang mirip dengan cerita di atas. Tapi, nenek kedua membolehkan si cucu tidak saja makan permen, namun juga makan mi instan.Â
Cerita kedua ini lebih "serem" karena pernah saat ketahuan oleh si bunda, terjadi gesekan antara nenek dan menantu.Â
Kemudian, si anak pun jadi seperti tertekan. Ketika makan permen si anak terpaksa menikmati dengan wajah penuh kecemasan, takut ketahuan bundanya.